Abdurrahman Wahid, atau yang lebih dikenal dengan Gus Dur, adalah salah satu tokoh besar yang meninggalkan jejak mendalam dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Di balik senyum santainya, ia selalu tampil dengan pemikiran yang tajam dan penuh kritikan konstruktif.
Namun, jika Gus Dur masih hidup hari ini, mungkin ia akan tertawa satir menyaksikan kondisi Indonesia yang terus bergulat dengan masalah-masalah lama, seperti korupsi yang semakin merajalela, serta kembalinya gaya kepemimpinan yang seakan mengingatkan kita pada Orde Baru—era pemerintahan yang penuh dengan kontrol militer.
Sebagai seorang presiden yang dikenal dengan kebijakannya yang toleran, Gus Dur sangat memperhatikan masalah korupsi yang sudah mengakar dalam tubuh negara.
Dalam bukunya, Gus Dur: Islam, Demokrasi, dan Kebebasan (2003), Gus Dur secara terbuka menyebutkan bahwa korupsi adalah momok besar bagi Indonesia.
Meskipun upaya pemberantasan korupsi telah dilakukan melalui berbagai lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kenyataan menunjukkan bahwa kasus-kasus korupsi justru semakin banyak.
Mulai dari pejabat tinggi negara, pengusaha besar, hingga tokoh politik, tak ada yang luput dari jeratan hukum karena kasus korupsi.
Sebuah ironi yang seolah menunjukkan bahwa Indonesia belum berhasil membebaskan diri dari lingkaran setan korupsi yang selama ini merusak sistem pemerintahan dan perekonomian negara.
Gus Dur mungkin akan tertawa ironis melihat kenyataan ini. Di masa kepemimpinannya, Gus Dur berjuang keras untuk memastikan bahwa pemerintahannya berjalan transparan dan bebas dari praktik-praktik korupsi.
Namun, meskipun berbagai kebijakan dikeluarkan untuk memberantas tindak pidana korupsi, hasil yang dicapai jauh dari harapan. Dalam bukunya Gus Dur: Membangun Negara yang Demokratis (2005), Gus Dur bahkan menekankan pentingnya penguatan lembaga-lembaga negara yang independen, seperti KPK, agar Indonesia bisa keluar dari jebakan korupsi.
Namun, realitas yang ada hari ini menunjukkan bahwa negara ini masih terjerat dalam praktik tersebut.
Selain itu, Gus Dur juga pasti akan merasa khawatir dengan perkembangan politik yang kini semakin mengarah pada kekuasaan yang terpusat dan cenderung militeristik.
Salah satu figur yang kerap kali menjadi sorotan dalam konteks ini adalah Prabowo Subianto, mantan jenderal militer yang kini menjadi salah satu tokoh paling kuat dalam politik Indonesia.
Pada masa lalu, Prabowo dikenal sebagai salah satu orang yang dekat dengan rezim Orde Baru, dan tak jarang ia dikaitkan dengan gaya kepemimpinan yang otoriter dan militeristik.
Kembalinya Prabowo ke panggung politik dengan kekuatan yang semakin besar, mengingatkan banyak orang pada masa ketika Soeharto memimpin Indonesia dengan tangan besi.
Gus Dur, yang pernah memimpin Indonesia di masa transisi pasca-Orde Baru, pasti akan merasa khawatir dengan adanya tren ini. Dalam bukunya Islam, Pluralisme, dan Demokrasi (2007), Gus Dur selalu menekankan pentingnya menjaga Indonesia sebagai negara yang demokratis dan pluralistik, yang menghargai keberagaman dalam segala aspek kehidupan.
Ia menentang segala bentuk otoritarianisme dan militerisme yang dapat merusak fondasi demokrasi.
Namun, melihat tren yang ada sekarang, di mana tokoh-tokoh militer kembali masuk ke ranah politik, Gus Dur pasti akan merasakan kegelisahan mendalam.
Kembalinya gaya kepemimpinan militer yang dulu dipraktikkan oleh Soeharto, tentu saja menjadi ancaman besar bagi nilai-nilai demokrasi yang diperjuangkan selama Reformasi 1998.
Pemerintahan yang kembali mengarah pada sistem yang lebih sentralistik, di mana kekuasaan terpusat pada satu tokoh yang memiliki kontrol penuh atas semua aspek kehidupan negara, mengingatkan kita pada masa Orde Baru.
Dalam era tersebut, militer memiliki peran yang sangat dominan, tidak hanya dalam bidang pertahanan, tetapi juga dalam politik dan pemerintahan.
Gus Dur yang memahami betul betapa buruknya dampak dari sistem seperti itu, pasti akan menentang keras jika Indonesia kembali ke arah yang sama.
Ia percaya bahwa Indonesia seharusnya tidak hanya menjadi negara yang kuat secara ekonomi, tetapi juga harus menjadi negara yang bebas dan adil bagi seluruh warganya.
Selain itu, korupsi dan sentralisasi kekuasaan yang kembali terjadi juga menambah kecemasan Gus Dur terhadap masa depan Indonesia.
Pada masa kepemimpinan Soeharto, Indonesia dikenal dengan praktik-praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang merajalela, dan Gus Dur selalu berusaha untuk membersihkan negara dari praktik tersebut.
Sayangnya, meskipun sudah 20 tahun lebih reformasi berjalan, masalah-masalah ini belum sepenuhnya hilang.
Buku Membangun Negara yang Demokratis karya Gus Dur mencatat bahwa untuk mengatasi masalah tersebut, dibutuhkan keteguhan dalam menjalankan prinsip-prinsip demokrasi, serta kesediaan untuk tidak mengorbankan kebebasan dan keadilan demi kepentingan politik sesaat.
Beliau pasti menyadari bahwa meskipun banyak kemajuan yang telah dicapai Indonesia setelah Reformasi 1998, namun masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
Korupsi yang merajalela, serta potensi kembali ke sistem pemerintahan yang otoriter, adalah dua masalah besar yang terus menghantui bangsa ini.
Namun, Gus Dur selalu optimis terhadap potensi bangsa Indonesia. Ia yakin bahwa Indonesia bisa menjadi negara yang lebih baik, asalkan rakyatnya tetap berpegang pada prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan.
Penulis: WahdiAr