UIN Palopo dan Misteri Dosen Sekali Lihat

Kolom1260 Dilihat

Oleh: Wahdi Laode Sabania

Salah satu kampus agama di kota ini sedang berubah fungsi. Yang tadinya “Universitas Islam Negeri”, kini mulai terdengar seperti “Universitas Ironi Nasional”.

Sebab di dalamnya, pelajaran akhlak mulia cuma sampai di slide PowerPoint, sementara praktiknya dikubur di balik toga dan kopiah dosen yang berkilat. Dan UIN Palopo rupanya sedang jadi bintang utamanya bukan di ajang akademik, tapi di panggung sinetron moral “Dosen LGBT, Mahasiswa Shock, Rektor Bingung, Menteri Bungkam.”

Kisah ini bermula dari tragedi WhatsApp seorang dosen yang katanya alim tapi jari-jarinya lebih nakal daripada pikirannya.

Modusnya sederhana, mengaku sebagai kating (senior), lalu menyapa korban via Instagram. Dari “hai dek” berlanjut ke “boleh minta WA?”, lalu entah bagaimana percakapan bergeser dari “kuliahmu di mana” ke “ini foto alat kelaminku, tapi jangan kaget ya, fitur sekali lihat.”

Loh, siapa yang tidak kaget? Bayangkan, seorang mahasiswa yang baru belajar muamalah harus berhadapan dengan moralmu amalah.

Korban yang malang itu, saking bingungnya, melapor ke seniornya. Dari situ kabar tersebar, lebih cepat dari pesawat tempur, bahwa seorang dosen di kampus Islam rupanya sedang meneliti ilmu baru, pendekatan syahwat berbasis digital.

Rektor UIN Palopo, yang tampaknya sudah kenyang menghadapi ujian birokrasi tapi belum tentu ujian nurani, berkomentar kalem.

“Saya pernah dengar sepintas, tapi belum ada pengaduan resmi,” katanya.

Begitulah gaya pejabat, kalau api sudah sampai ke atap, tapi belum ada laporan resmi dari korban, maka kebakaran dianggap belum sah secara administratif.

Pak Rektor menegaskan, kalau ada pengaduan resmi, barulah akan ditindaklanjuti.

Tentu saja. Di negeri ini, bahkan rasa malu pun harus menunggu surat masuk.

Beliau menambahkan lagi, “Kami tidak punya dasar memproses pelaku atau tertuduh.”

Ah, dasar. Di kampus Islam, “dasar iman” tampaknya kalah penting dari “dasar hukum.”

Tak lama, Menteri Agama Nasaruddin Umar sempat berkunjung ke Palopo, usai peresmian perubahan status dari IAIN menjadi UIN. Harusnya itu hari bahagia: kampus naik kelas! Tapi takdir rupanya lucu. Baru diresmikan, UIN Palopo langsung trending bukan karena prestasi, tapi karena predator seksual bersarung dosen.

Baca juga:  Opini: Karakter Pemilih!

Saat wartawan mencecar soal kasus ini, sang Menteri memilih diam. Beliau mungkin berpikir, diam itu emas. Padahal dalam kasus ini, diam justru lebih mirip timah hitam. Berat dan menenggelamkan moral.

Di tengah hiruk pikuk, muncul kelompok mahasiswa yang menamakan diri mereka G30S UIN Palopo. Nama ini saja sudah satire tingkat tinggi, entah mereka sengaja atau tidak, tapi seolah ingin berkata, “kalau negara bisa punya tragedi 65, maka kampus pun punya tragedi 25.”

Mereka turun ke lapangan, membawa spanduk, meneriakkan desakan agar dosen pelaku segera dicopot.

Perwakilan mereka, Putra, bicara lantang,

“Kasus ini tidak hanya melibatkan satu korban, tapi juga dari Fakultas Hukum Syariah, Ekonomi, dan Tarbiyah!”

Tiga fakultas! Lengkap sudah, hukum, ekonomi, dan pendidikan. Dosen ini, kalau boleh jujur, punya bakat lintas jurusan. Dari “syariah ke syahwat,” dari “ekonomi” ke “ekstrovert,” sampai “tarbiyah” yang mendidik jadi “terbiah.”

Tentu, kampus tidak tinggal diam. Tim PPKS (Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual) segera dibentuk. PSGA (Pusat Studi Gender dan Anak) juga ikut beraksi.

Di atas kertas, mereka terlihat sangat siap apalagi dengan jargon-jargon indah seperti “Kampus Aman, Tanpa Kekerasan.”

Tapi seperti biasa, di negeri ini, yang siap hanya spanduknya.

Setelah sepekan investigasi, hasilnya nihil. Katanya belum ada korban yang mau buat laporan resmi. Rektor menambahkan dengan gaya yang diplomatis.

“Kami sedang melakukan pendekatan persuasif kepada korban.”

Persuasif! Istilah lembut yang kalau diterjemahkan bebas artinya “ayo nak, ngaku saja, tapi jangan bikin gaduh dulu, kampus sedang akreditasi.”

Mahasiswa semakin gerah. Setelah menunggu lama, mereka diundang untuk mendengar hasil investigasi internal.

Baca juga:  Satu Dekade FKM Angkatan 2012, Tema Dementor: One Decade One Love

Namun, alih-alih membaca laporan, Pak Rektor justru tidak jadi membacakan apa-apa.

“Pak Rektor tidak mau membaca hasil investigasi,” kata Putra.

“Lalu kami disuruh ke Polres.”

Nah, ini yang menarik. Di tangan birokrasi kampus, kasus pelecehan bisa berubah jadi lomba lari estafet. Tongkatnya dilempar dari PSGA ke PPKS, dari PPKS ke Rektorat, dari Rektorat ke Polisi, dan akhirnya ke udara karena korban belum muncul.

Ketika mahasiswa meminta salinan hasil investigasi, pihak PSGA menolak. Alasannya?

“Itu hal yang sakral.”

Wah, luar biasa. Ternyata di kampus Islam, bukan hanya kitab suci yang sakral, laporan pelecehan pun bisa naik derajat jadi benda suci.

Saat kasus akhirnya sampai ke Polres Palopo, ternyata laporan mahasiswa ditolak. Alasannya sederhana, laporan tidak bisa diterima kalau bukan dari korban langsung atau pihak yang diberi kuasa.

Kasat Reskrim bilang, “Kami belum bisa proses.”

Nah, mahasiswa pun kebingungan. Mereka pikir PSGA dan PPKS yang akan mengurus semuanya. Ternyata tidak. Kata Putra,

“Reski Azis, humas UIN, malah menyuruh kami menghadirkan korban. Padahal dari awal PSGA dan PPKS yang janji mengawal korban.”

Ya beginilah nasib mahasiswa di negeri birokrasi. Sudah jatuh, masih disuruh bawa tangga sendiri.

Kasus ini akhirnya macet di tengah jalan, seperti motor kehabisan bensin di tanjakan. Rektor bilang menunggu laporan. PSGA bilang hasil investigasi sakral. Polisi bilang butuh korban. Mahasiswa bilang mereka dijebak. Menteri bilang… Tidak bilang apa-apa.

Dalam dunia kampus yang katanya menjunjung “kebenaran ilmiah,” semua pihak justru bersaing dalam lomba “siapa paling lihai menghindari tanggung jawab.”

Tentu, kita tak bisa serta-merta menghakimi seluruh kampus hanya karena satu dosen kehilangan arah. Tapi kalau kampus agama tidak bisa tegas terhadap moral, lalu siapa lagi yang bisa?

Kampus seharusnya jadi benteng akhlak, bukan tempat ujicoba libido intelektual. Kalau ada dosen yang berani mengirim foto kelamin kepada mahasiswa, itu bukan “kekhilafan,” itu “keilmuan yang salah arah.”

Baca juga:  Mahasiswa Kecewa Penanganan Dugaan Pelecehan Seksual di UIN Palopo Dinilai Tidak Transparan

Dan jika pimpinan kampus hanya bisa berkata, “kami menunggu laporan resmi,” maka itu bukan kebijakan, itu pembiaran berlabel birokrasi.

Lucunya, pihak humas kampus tetap tampil elegan di depan wartawan.

“Kami mendampingi adik-adik melaporkan dugaan pelecehan seksual,” kata mereka.

Oh, indah sekali. Mendampingi, bukan bertanggung jawab. Ini seperti sopir yang menabrak orang tapi dengan bangga berkata, “Saya mendampingi korban ke rumah sakit.”

Lama-lama kasus ini jadi seperti drama “reality show” berjudul “Siapa yang Salah, Siapa yang Lapor.”

Korban tidak muncul, pelaku menghilang, birokrasi berdoa agar isu cepat basi, dan mahasiswa sibuk membuat poster baru.

Namun satu hal pasti, isu ini meninggalkan bekas yang lebih dalam dari sekadar laporan. Ia menelanjangi wajah kampus yang penuh kata “Islam,” tapi di dalamnya, rasa takut lebih besar daripada rasa iman.

Barangkali inilah ironi terbesar. Kampus yang mengajarkan akhlaq al-karimah, tapi lupa bahwa akhlak bukan sekadar teori semesteran. Ia diuji ketika kekuasaan dan kenyamanan berhadapan dengan keadilan.

Dan sampai hari ini, para mahasiswa UIN Palopo mungkin masih bertanya-tanya. Siapa sebenarnya yang harus belajar di kampus itu. Mahasiswanya, atau para dosennya?

Tapi biarlah. Dalam negara yang setiap masalah diselesaikan dengan “menunggu laporan resmi,” mungkin Tuhan pun harus antre dulu kalau ingin menegur manusia.

Sementara itu, mahasiswa terus berteriak di halaman kampus, membawa poster dan marah yang tak diundang. Mereka tak butuh gelar, tak butuh izin, mereka hanya ingin satu hal yang paling sederhana keadilan.

Tapi seperti biasa, keadilan di negeri ini sedang cuti bersama. Dan di pojok ruangan rektorat, mungkin seseorang sedang berdoa khusyuk.

“Ya Tuhan, lindungilah kampus kami dari fitnah.”

Padahal yang mereka butuhkan bukan perlindungan dari fitnah, tapi keberanian menghadapi fakta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *