Oleh: Rais, S.Kom
Hashtagnews.id – Jadi caleg itu mudah. Tapi, memenangkan pertarungan politik secara demokratis, itu yang susah. Perlu ada ribuan orang. Ribuan orang yang sadar tentang hak-hak politiknya sebagai warga negara, tidak pragmatis, dalam artian tidak “menunggu sesuatu dalam bentuk apapun untuk memastikan pilihan”. Tahu bahayanya “money politik” jika terus-terusan dibiarkan.
Money politik itu termasuk barang larangan, namun dalam pemilu, yang tidak melakukannya dianggap aneh dan sulit mendapatkan dukungan, bahkan sebagian orang menganggapnya buang-buang energi, karena melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kenyataan, yakni tradisi money politik.
Begitu istimewa soal money politik ini, yang melakukannya adalah kaum kaya dan kaum cerdik, yang memiliki kapasitas dan keberanian yang mumpuni, memiliki kemampuan dalam memetakan wilayah dan karakter pemilih; mana yang karakter pemilihnya rasional, kritis, dan pragmatis.
Sehingga dengan hasil pemetaan dan kategorisasi seperti itu kemudian diambillah kesimpulan, mana yang harus di “siram”(meminjam istilah tim sukses), dan wilayah mana yang tidak perlu.
Tentu saja kesimpulan dan keputusan tersebut harus dibarengi dengan pertimbangan dan hitungan yang matang. Situasi aman apa tidak, tepat waktu dan tepat sasaran atau tidak. Yang serampangan tentu saja akan gagal dan menuai kekecewaan, karena amunisi habis percuma, namun suara tidak mencapai target. Artinya, urusan ini mustahil bisa dipegang orang awam. Jikapun orang awam terlibat disini, jelas atas petunjuk kaum cerdik.
Lantas, siapa yang paling bertanggungjawab untuk urusan seperti ini? Apakah kita harus menggerutu terhadap masyarakat bawah atas perilaku pragmatisnya? Saya kira tidak, Pemerintah dan parpol lah yang bertanggungjawab dalam urusan ini, karena pasca reformasi hingga saat ini, tak ada kemajuan signifikan dalam pengalaman berdemokrasi kita. Sementara kita ketahui bahwa tugas mereka adalah melakukan sosialisasi hak-hak politik warga negara kepada masyarakat, dan faktanya itu tidak dijalankan dengan baik. Justru sebaliknya, yang dibangun adalah tradisi politik yang mencederai nilai-nilai demokrasi.
Fenomena ini bisa kita urai secara gamblang. Abdul Karim, mantan direktur eksekutif Lapar Sulsel (20/10/2011), dalam tulisannya pernah menjelaskan bahwa Pragmatisme pemilih dapat dilihat sebagai efek keringnya pemahaman akan hak-hak politik warga negara. Kesadarannya mudah dimanipulasi oleh politisi pragmatis, sehingga paradigmanya hanya sampai pada politik itu adalah urusan kursi dan rezeki, tetapi tidak sampai pada politik adalah proses pengambilan keputusan publik.
Fenomena pemilih pragmatis dapat pula difahami sebagai bentuk resistensi politik masyarakat pemilih terhadap para aktor politik. Terutama sekali resistensi atas sikap elit yang cenderung tidak memberikan perhatian apabila telah duduk dikursi kekuasaan. Pengalaman menjadi pemilih dirasakan sebagai pengalaman buruk; dijanji lalu tidak ditepati, dan ini berlangsung bertahun-tahun lamanya. Karena itu, Lebih baik melakukan transasksi individual walau bersifat sesaat daripada tidak mendapatkan apa-apa diesok hari selama lima tahun”, kurang lebih seperti itu persepsi politik yang tumbuh dilevel bawah.
Pula bisa difahami, fenomena pragmatisme pemilih itu lahir karena diawali oleh fenomena politisi pragmatis yang sudah menggurita dan menjamur dimana-mana. Sebagai misal, ketika momentum politik lima tahunan tiba, bisa kita lihat bagaimana politisi lokal kita mendistribusi baliho politiknya dalam jumlah besar di ruang-ruang strategis kota. Baliho politik itu lazimya dianggap sebagai salah satu cara yang efektif untuk sosialisasi agar tidak asing dimata publik. Tapi bukankah metode ini sangat instan dan pragmatis?
Jika demikian, lantas bagaimana? Apa yang harus dilakukan agar bisa memenangkan pertarungan secara demokratis? Idealnya seorang politisi wajib memiliki basis konstituen yang ril, memiliki kelompok pemilih yang konkrit yang akan diperjuangkannya?. Untuk membangun basis konstituen itu, maka tentu tak semudah mendistribusi baliho, atau tak segampang membagi-bagikan uang.
Membangun basis konstituen bukan kerja-kerja instan dan pragmatis, harus berkeringat. Yah, harus lahir dari proses dialektis antara politisi dengan kelompok sosialnya itu sendiri.
Cara pandang kita terhadap rakyat harus dirubah, harus berbeda dengan politisi pragmatis. Bila para politisi pragmatis itu melihat rakyat ansich sebagai “vote”, maka kita harus melihat dan menempatkan rakyat sebagai “voters”. Meletakkan rakyat sebagai “vote” semata, mengisyaratkan lemahnya tanggungjawab politisi terhadap pemilihnya usai terpilih. Tak ada urusan dengan pemilih setelah terpilih. Habis manis sepah dibuang. Usai dipilih, rakyat dibuang. Pada tataran ini, representasi yang lahir adalah reperesentasi semu.
Tetapi bila hal ini dianggap berat, atau bahkan dianggap tidak mungkin, maka kumpulkanlah uang sebanyak-banyaknya, lalu masuklah kembali dalam gelanggang politik, dan menangkan pertarungan yang tak ada beda dengan para politisi pragmatis itu, dengan bersandar pada apologi “rebut saja dulu dengan segala cara, nanti setelah didalam baru tanam nilai”. Itupun jika didalam tidak tertelan oleh system yang korup.
Yang pasti, butuh situasi kerohanian yang luar biasa untuk menjerumuskan diri dalam tradisi money politik, terutama jika selama ini anda adalah penghotbah demokrasi di forum-forum diskusi, anda harus membelah kesadaran anda sendiri, harus bisa hidup di dua alam sekaligus, sesekali jadi penghotbah demokrasi, dan pada situasi yang lain menjadi pelaku money politik, dengan mengesampingkan pemahaman anda bahwa demokrasi akan kehilangan makna substansinya bila money politik terus dibiarkan.
Komentar