Pemerintahan yang baik bukan hanya soal kebijakan dan angka-angka dalam laporan keuangan, tetapi juga tentang bagaimana pemimpin memahami kebutuhan rakyatnya. Dalam hal ini, perempuan memiliki perspektif yang unik, terutama dalam menciptakan kebijakan berbasis keadilan sosial dan keberlanjutan.
Perempuan dan Kepemimpinan: Perspektif Teori Politik
Dalam teori politik feminis, seperti yang dikemukakan oleh Carole Pateman dalam The Sexual Contract, sistem politik modern cenderung mengesampingkan peran perempuan dalam kepemimpinan publik.
Padahal, perempuan memiliki potensi besar dalam membangun pemerintahan yang lebih peduli pada aspek sosial dan kesejahteraan masyarakat. Pemikiran ini sejalan dengan konsep ethic of care yang dikembangkan Carol Gilligan, di mana kepemimpinan berbasis empati dan kepedulian menjadi elemen penting dalam pengambilan keputusan.
Selain itu, teori kepemimpinan transformatif yang dikembangkan oleh James MacGregor Burns menekankan bahwa pemimpin yang baik bukan hanya mereka yang memiliki kekuasaan, tetapi juga yang mampu menginspirasi perubahan sosial.
Dalam konteks ini, pemimpin perempuan seperti Naili Trisal yang saat ini salah satu calon walikota Palopo bisa menjadi figur yang membawa perubahan, bukan hanya karena gendernya, tetapi karena kemampuannya dalam memahami permasalahan dari perspektif yang lebih humanis.
Mengapa Naili Trisal?
Pilihan untuk mengusung Naili Trisal sebagai pemimpin Kota Palopo bukan sekadar soal representasi gender, tetapi tentang bagaimana nilai-nilai kepemimpinan yang ia bawa dapat memberikan dampak nyata bagi masyarakat.
Seorang perempuan memiliki pengalaman biologis dan psikologis yang unik dalam memahami kehidupan dari fase paling awal dari dalam rahim hingga membentuk karakter anak-anaknya.
Hal ini menjadikan perempuan lebih peka terhadap kebijakan yang berdampak langsung pada kehidupan rakyat.
Konvensi Hak-Hak Anak 1989 yang menjadi dasar perlindungan bagi generasi mendatang juga menegaskan bahwa pemerintah memiliki kewajiban untuk memastikan anak-anak lahir dalam kondisi yang memungkinkan mereka merasakan kebahagiaan, bukan kecemasan akibat beban utang negara atau ketidakadilan ekonomi.
Oleh karena itu, kepemimpinan yang berpihak pada kaum ibu menjadi suatu keniscayaan. Di bawah kepemimpinan Naili Trisal, diharapkan kebijakan anggaran negara (APBN) dan daerah (APBD) dapat lebih banyak dialokasikan untuk pemberdayaan perempuan dan anak.
Mengingat, rahim perempuan bukan hanya tempat biologis untuk melahirkan, tetapi juga simbol dari sekolah pertama bagi anak-anak yang kelak menjadi generasi penerus bangsa.
Bukan Soal Gender, Tetapi Moralitas Kepemimpinan
Dalam diskursus politik modern, perdebatan mengenai kepemimpinan laki-laki atau perempuan seharusnya bukan lagi menjadi fokus utama.
Seperti yang ditegaskan dalam defenisi moral hazard, bahaya terbesar dalam pemerintahan bukan berasal dari gender pemimpinnya, melainkan dari moralitas individu yang menjalankan pemerintahan tersebut.
Maka, yang lebih penting untuk dipertanyakan bukanlah apakah pemimpin kita laki-laki atau perempuan, tetapi sejauh mana mereka memiliki integritas, kepatuhan terhadap hukum, dan komitmen untuk mengabdi kepada rakyat.
Jika seorang pemimpin, baik laki-laki maupun perempuan, tidak memiliki nilai-nilai moral yang kuat, maka pemerintahan akan tetap berjalan di jalur yang penuh dengan penyimpangan dan ketidakadilan.
Dalam konteks ini, Naili Trisal menawarkan sesuatu yang lebih dari sekadar representasi perempuan dalam politik.
Ia membawa visi kepemimpinan yang berlandaskan keadilan, kasih sayang, dan pengorbanan nilai-nilai yang sering kali terpinggirkan dalam dinamika politik yang maskulin dan transaksional.
Dengan demikian, mengusung Naili Trisal bukan hanya soal mengangkat perempuan ke panggung politik, tetapi juga tentang menghadirkan perubahan dalam cara kita memandang pemerintahan.
Bukan sekadar kekuasaan, tetapi kepemimpinan yang berorientasi pada masa depan generasi mendatang.
Penulis: Rusdy Maiseng