Materi Bukan Substansi Berdemokrasi, Integritas Calon Pemimpin Diuji!

Opini977 Dilihat

Oleh: Arzad (Sekretaris Jendral Gerakan Anak Muda Palopo)

Demokrasi sejatinya adalah proses pematangan kesadaran berbangsa. Ia bukan sekadar tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah dalam kontestasi, tetapi bagaimana proses itu berlangsung secara adil, jujur, dan bermartabat.

Dalam sistem demokrasi yang sehat, kualitas ide, rekam jejak, serta integritas calon pemimpin seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam memilih.

Sayangnya, kenyataan di lapangan masih jauh dari harapan. Dalam banyak perhelatan politik lokal maupun nasional, praktik politik uang atau money politic masih menjadi strategi yang jamak digunakan.

Uang dijadikan alat tukar suara, dan materi lebih diutamakan daripada moralitas dan kapasitas. Inilah bentuk demokrasi yang cacat secara etika dan hukum.

Padahal praktik politik uang secara tegas dilarang oleh undang-undang. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah dalam Pasal 187A menyatakan bahwa

Baca juga:  Strategi Rekayasa Persepsi untuk Kemenangan Pilkada

“Setiap orang yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung untuk memengaruhi pemilih dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.”

Regulasi ini seharusnya menjadi peringatan serius bagi siapa pun yang mencoba menghalalkan segala cara demi kekuasaan.

Masalahnya, budaya permisif di tengah masyarakat turut memperparah keadaan. Politik uang dianggap hal biasa, bahkan seolah menjadi ‘tradisi’ dalam setiap pemilihan.

Banyak pemilih yang bersikap pragmatis menerima uang dan tetap merasa tak bersalah.

Baca juga:  OPINI: Makhluk Kecil yang Mengalahkan Kesombongan Manusia

Ironisnya, praktik ini justru membuat masyarakat ikut melanggengkan siklus kepemimpinan yang transaksional, bukan transformasional.

Ujian integritas pemimpin justru dimulai sejak masa kampanye. Ketika seorang calon berani membeli suara, maka publik sudah bisa menilai bahwa kepemimpinannya nanti hanya akan dibangun di atas kepentingan pribadi dan kelompok.

Bagaimana mungkin seorang pemimpin yang membeli suara akan benar-benar bekerja untuk rakyat? Bukankah dia justru akan fokus mengembalikan modal dan memenuhi ekspektasi sponsor politiknya?

Untuk itu, penting bagi seluruh elemen masyarakat terutama generasi muda untuk mengambil peran aktif dalam menolak politik uang.

Pendidikan politik harus digalakkan, baik melalui media sosial, forum diskusi, maupun komunitas akar rumput.

Pemilih harus dibekali pemahaman bahwa suara mereka adalah hak suci dalam demokrasi, bukan komoditas yang bisa diperjualbelikan.

Baca juga:  OPINI: Merinci Demokrasi

Lembaga penyelenggara pemilu, aparat penegak hukum, dan media massa juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengawasi dan mengedukasi.

Jangan sampai pelanggaran politik uang hanya dianggap pelanggaran kecil yang bisa dinegosiasikan.

Penegakan hukum yang tegas akan menjadi efek jera dan memperkuat fondasi demokrasi yang sehat.

Terakhir, sudah saatnya kita menyadari bahwa demokrasi bukan tentang siapa yang punya uang lebih banyak, tapi siapa yang membawa gagasan terbaik.

Materi bukan substansial dalam demokrasi yang esensial adalah kejujuran, integritas, dan keberanian untuk memimpin dengan hati.

Calon pemimpin diuji bukan saat menjabat, tapi sejak awal ia memilih jalan untuk mendapatkan kekuasaan, apakah lewat suara tulus rakyat, atau lewat transaksi gelap yang mencederai harapan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *