Opini: Hidup dalam Demokrasi yang Berbahaya

Opini1544 Dilihat

Di era modern seperti saat ini pergerakan politik kebanyakan bergerak malalui media sosial sebab hampir semua orang dapat diakses atau diketahui mulai dari perilaku, gaya hidup serta cara berpikirnya.

Namun apakah semua orang tahu bahwa resiko penggunaan medsos yang berlebihan dapat membuat otak tidak lagi bekerja maksimal, melemahkan kemampuan berpikir, memicu penurunan kognitif sebab memaksa otak hanya fokus pada narasi yang tidak edukatif dan tidak kompatibel sehingga otak tidak lagi dapat dimanfaatkan mencari informasi yang benar dan mengolahnya kedalam pengetahuan.

Padahal pada konstitusi kita dikatakan bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus di hapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Demikian yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945, alinea pertama. Pesan moralnya adalah menempatkan manusia sebagai mahluk mulia terhadap spiritualismenya dan materialismenya, sehingga dapat keluar dari kebodohan, kemiskinan, kehinaan ketertindasan dan ketimpangan.

Fakta saat ini bahwa narasi receh kerap membanjiri medsos dimana kebanyakan orang lebih mengkonsumsi narasi sensasi ketimbang substansi yaitu orang lebih memilih membaca narasi yang tidak berkualitas. Akibatnya brain rot atau pembusukan otak terjadi pada orang orang tertentu dan menjadi momok pada era digital saat ini, sebagai akibat dari ulah para buzzer yang ditangannya menggenggam tekhnologi digital namun otaknya masih dalam posisi analog.

Para buzzer politik biasanya tidak mampu membedakan antara percakapan ilmiah dan perdebatan, dimana percakapan yang berisikan pertukaran pendapat, memecahkan ide ide dan pengujian pendapat yang dilakukan lewat media atau pertemuan untuk mencari kebenaran alias otak bertemu otak.

Sementara perdebatan adalah bertemunya dua orang atau lebih yang saling mempertahankan pendapat dimana pendapat tersebut di ambil dari masing masing dengkul orang tersebut dan dieksploitasi sebagai sebuah kebencian pada orang tertentu. Hal inilah yang seringkali dilakukan oleh seorang pendengung atau buzzer politik.

Baca juga:  PJ Walikota Palopo Apresiasi Atlet Tennis Academy dalam Pelepasan Kejuaraan Nasional

Di tengah situasi seperti saat ini seharusnya semua pihak mampu menunjukkan bahwa demokrasi bukanlah sebuah pertunjukan yang bertujuan mempersatukan orang apalagi mempersatukan kemauan dan pikiran orang namun demokrasi lebih kepada moderasi dan memanage perbedaan untuk keadilan serta kemanfaatan dan kesetaraan. Itulah inti dari pesan demokrasi.

Bahkan suara rakyat yang memiliki kekuatan untuk menentukan dan menantang perlakuan yang tidak adil jangan sampai terbonsai oleh perilaku politik yang tidak sehat. Ini semua menjadi bukti nyata bahwa perubahan harus dimulai agar lebih baik dan lebih baru, tentu dimulai dari tindakan yang lebih rasional. Namun apakah nantinya akan berhasil untuk merubah keadaan atau tidak, itu tentunya menjadi pilihan semua orang.

Disadari atau tidak, sesungguhnya saat ini sedang terjadi percobaan kudeta demokrasi yang dilakukan oleh para pendengung atau buzzer sehingga mengakibatkan ketimpangan terhadap pemahaman demokrasi yang berujung pada nir etik politik.

Untuk diketahui bahwa saat ini ada tujuh macam perang yang kita hadapi, antara lain, Militery warfare, Biological warfare, Economic warfare, Financial warfare,Cyber warfare, Climate warfare atau Perang cuaca, dan Neo cortex war atau perang narasi dan informasi melalui sosmed.

Hal ini dilakukan dengan menggunakan ruang sosmed oleh para buzzer untuk melakukan tuduhan sekaligus menyerang hak hak-hak politik seseorang atau perang diplomat kusir yang ujungnya membuat manusia menjadi serigala bagi sesamanya.

Terkhusus pada Neo korteks war , yang banyak mengakibatkan posisi tawar kepentingan masyarakat dalam konteks demokrasi sedikit demi sedikit dirampas oleh para buzzer yang kekuatannya dibangun sedemikian kokoh ke dalam pondasi demokrasi dan begitu tangguh mencengkram hak hak masyarakat.

Hal ini harus segera dipulihkan kembali, sebab ketika itu tidak mampu dilakukan maka kita sebagai masyarakat tidak akan pernah bisa keluar dari problem ketertindasan, kebodohan, serta tidak mampu terbebas dari ketimpangan. Keadaan atau gambaran saat ini menerangkan bahwa kita sesungguhnya ada pada keadaan Volatility atau gejolak kehidupan yang sangat ekstrim, uncertainty atau ketidak pastian, complexity atau kerumitan yang parah, serta ambiguitas.

Baca juga:  Wali Kota Palopo Pimpin Pengibaran Bendera Merah Putih di Upacara HUT RI ke-77 Tahun

Semua itu disebut VUCA. Vuca terjadi karena DISRUPSI atau terjadinya perubahan yang besar-besaran secara ekstrim ke dalam sistem sehingga kebanyakan orang tidak menyadarinya jika ada perang selain perang militer, yaitu perang informasi melalui medsos yang dilakukan sekelompok manusia yang otaknya tidak mampu mereka jadikan sebagai sarana untuk berpikir dan berpengetahuan apalagi beretika sebab belum berevolusi secara sempurna.

Information warfare atau perang informasi pada kontekstasi politik banyak menggunakan pasukan propaganda dari sarana peraga pada medsos. Biasanya mereka para buzzer politik menyembunyikan identitas lewat akun palsu sebeb mereka tidak punya nyali untuk berhadap hadapan oleh sebab mereka hanya bertujuan menyerang pribadi orang dengan cara mambabi buta, penjungkir balikan keadaan, yang jahat menjadi baik, kegagalan menjadi prestasi, atau dengan istilah plausible deniability atau penyangkalan yang masuk akal.

Metode ini biasanya digunakan oleh kelompok yang pernah berkuasa dan akan berkuasa lagi agar terlihat baik-baik saja, bahkan terlihat lebih baik dari yang lain. Bahkan tanpa berpikir rasional, mereka terkadang lebih banyak membangun narasi yang hanya mengarah pada pribadi orang tanpa menyentuh isu-isu subtantif yang seharusnya dijadikan rujukan rasional publik dalam memilih sosok pemimpin. Pendengung nantinya akan membuat propaganda yang selanjutnya akan menyasar pada mereka yang memang sarana berpikirnya masih rendah.

Kenyataannya memang saat ini kebanyakan dari mereka tanpa ragu menanggalkan moral etik intelegtualnya untuk meraih kekuasaan. Mereka kebanyakan lebih memilih menggunakan strategi neo korteks war atau perang issue atau perang narasi yang dilakukan lewat buzzer bayaran dan influencer untuk menjatuhkan seseorang dengan cara pembalikan keadaan agar masyarakat gampang diambil atau di rampas sumberdayanya.

Baca juga:  Ardhani Mas Malinta Alias Cak Dan Berpulang, Palopo Kehilangan Guru

Padahal tanpa mereka sadari apabila cara itu sesungguhnya adalah sebuah penggiringan orang lain untuk hidup didunia yang jauh lebih machiavellian dari pada Italia abad ke 16. Semua itu memang bisa terjadi sebab saat ini dunia di topang oleh tekhnologi untuk membuat kejahatan politik menjadi lebih elegan.

Bahkan pemilu digunakan untuk mendapatkan ijin dari rakyat agar seseorang dapat menjadi pemimpin pemerintahan, dimana ketika rakyat mengijinkan seseorang untuk memimpin namun akal dan hati orang tersebut sangat terbatas untuk membaca kepemimpinan demokrasi pada konteks pemerintahan maka yang akan dia praktekkan nantinya adalah menjadikan dirinya sebagai seorang raja yaitu semua urusan pemerintahan akan dia alihkan menjadi urusan keluarga. Semua itu menjadi fakta yang tidak terbantahkan dihampir semua daerah.

Padahal sejak awal kemerdekaan para pendiri bangsa telah menanamkan pondasi yang kuat pada bangsa ini yaitu pondasi yang terletak pada pikiran serta basis literasi dan analisis yang tajam dari basis ideologi serta kekuatan argumentasi yang rasional yang buktikan melalui Pancasila dan UUD 1945, agar kelak bangsa ini dapat terhindar dari pemimpin yang hanya didasari oleh kolusi, korupsi dan nepotisme.

Ironisnya KKN menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari realitas kehidupan, dimana hal tersebut menjadi sangat tidak normal dari kacamata etika bernegara.

Realitasnya bahwa saat ini begitu dangkalnya pikiran tentang integritas dan patriotisme dihampir semua kalangan yang membuat bangsa ini terus menerus harus berhadapan dengan para playing monkeys atau orang orang yang telah di manipulasi otaknya oleh seseorang yang kecanduan atau ketagihan kekuasaan sehingga dia rela menjatuhkan dan menghancurkan hak hak politik orang lewat peran playing monkeys-nya, yaitu para buzzer dan pendengungnya demi memperkuat kontrol suara pada masyarakat.

Rusdy Maiseng