Di abad ke-21—zaman ketika ponsel bisa membuka kunci wajahmu lebih cepat dari ibu membuka aibmu di arisan, segala sesuatu berubah dengan kecepatan cahaya.
Teknologi canggih, informasi mengalir deras, dan orang bisa lebih update berita gosip selebritas daripada jadwal kuliah sendiri. Namun di tengah segala kecanggihan ini, ada satu hal yang tak ikut berevolusi: nafsu akan jabatan.
Jabatan kini bukan sekadar amanah atau tanggung jawab. Oh, jangan naif. Ia telah naik pangkat jadi candu.
Bukan candu biasa, ini candu premium, varian espresso dark roast, edisi terbatas, lebih memabukkan dari kopi pagi, dan lebih bikin deg-degan daripada notifikasi WhatsApp dari mantan.
Dan ketika candu ini mendarat di tangan yang salah, biasanya tangan yang gemar selfie di depan ruang kerja baru. Jabatan bukan lagi soal kerja, tapi soal kuasa.
Gaya kepemimpinannya? Lebih cocok jadi bupati TikTok daripada akademisi. Ruang kerja disulap jadi istana mini, lengkap dengan kursi yang kalau didudukin bisa bikin lupa siapa yang milih dia.
Komunikasi? Satu arah. Kritik? Dianggap fitnah. Pertanyaan? Tuduhan. Diskusi? Bentuk pengkhianatan terhadap negara… eh, kampus.
Yang lebih tragis, gejala mabuk jabatan ini muncul bahkan sebelum kerjaan dimulai.
Belum juga bikin perubahan, udah sibuk pasang pagar betis dari opini berbeda.
Baru-baru ini, saya menulis kritik ringan soal penggunaan mobil pick up plat merah untuk mengangkut perlengkapan wisuda yang terbuka. Kritik ini menyentil soal etika kepada simbol akademik, bukan menyerang pribadi.
Namun respons yang datang sungguh berlebihan, sebuah panggilan pribadi untuk meminta tulisan itu dihapus.
Semua yang tidak sepemikiran langsung dicap musuh negara ‘eh salah lagi’ musuh lembaga.
Padahal, tidak semua orang bercita-cita jadi pejabat. Banyak yang cukup bahagia jadi warga kampus biasa, asal tidak diganggu gugat integritasnya.
Beginilah kalau kampus kehilangan akal sehat.
Di tempat yang semestinya menjadi gudang akal pikiran, justru yang bertengger malah ego sebesar kingkong.
Kritikan bukannya dianggap vitamin, malah dianggap virus yang harus diisolasi.
Para dosen yang dulu sok kritis, kini mendadak jadi fans garis keras kekuasaan. Bukan karena cinta sih…, tapi karena takut. Takut kehilangan posisi, takut kehilangan like, takut jadi dosen biasa yang hanya dikenal lewat nilai KRS.
Padahal kekuasaan, sebagaimana cinta sepihak, promo makan sepuasnya, dan hanyalah ilusi sementara. Yang abadi hanyalah akal sehat, jejak integritas, dan utang koperasi.
Tapi, karena jabatan sekarang dianggap puncak prestasi, maka muncullah sandiwara besar. Semua harus tampak sempurna. Kritik disapu bersih. Opini berseberangan dianggap makar. Semua demi satu tujuan, menjaga “martabat lembaga.” (Entahlah martabat yang mana. Kalau martabat itu bentuknya mungkin sudah disimpan di brankas bareng SK pengangkatan.)
Kata George Orwell, kekuasaan bukan cuma soal mengatur orang lain, tapi mengatur kenyataan.
Di kampus, kenyataannya dijaga rapat-rapat, asal jangan sampai ada yang bilang, “kenapa begini, begitu dan bagaimana itu Pak.” Karena suara seperti itu langsung dianggap seperti laporan intelijen musuh.
Dan tragisnya, semua yang ikut main peran dalam sandiwara ini benar-benar menganggap dirinya pahlawan.
Padahal mereka cuma figuran dalam sinetron panjang bertajuk “Negeri Tanpa Kritik.”
Untuk para pejabat kampus, saya cuma ingin bilang, Jabatan itu alat, bukan takhta. Jangan mabuk jabatan sampai lupa bahwa pemilu rektor bukan ajang pencarian bakat.
Bersikaplah seperti akademisi, bukan aktor FTV. Sebab kepemimpinan bukan soal seberapa banyak Anda dibela, tapi seberapa berani Anda mendengar.
Cukup dengan logika dan kepala dingin. Karena, di dunia akademik, kebenaran tidak bisa dipanggil ke ruang dekanat dan dipaksa tanda tangan pernyataan maaf. (Wdy)