Dalam dunia pendidikan tinggi, rektor seringkali dipandang sebagai sosok yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral, integritas, serta menjadi teladan bagi seluruh civitas akademika. Namun, realitas kadang berbicara sebaliknya.
Ada saja oknum rektor yang justru mencoreng marwah akademisi dengan perilaku tidak terpuji, seperti melakukan pelecehan verbal terhadap staf maupun lingkungan sekitarnya.
Ironisnya, sosok ini tetap lantang berbicara soal etika, seolah lupa bahwa dirinya adalah pelanggar etika itu sendiri.
Pelecehan verbal yang dilakukan oleh seorang pemimpin kampus bukan hanya sekadar umpatan kasar.
Bentuknya bisa berupa hinaan, merendahkan martabat bawahan, komentar seksis, hingga intimidasi psikologis yang menggerus rasa percaya diri korban.
Meski sering menggelar seminar soal etika, disiplin, dan nilai-nilai moral, dalam kesehariannya, rektor semacam ini mempertontonkan arogansi kekuasaan yang menyakitkan banyak pihak.
Dalam hukum Indonesia, perilaku pelecehan verbal bisa dijerat dengan beberapa aturan. Salah satunya adalah Pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik, dan Pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan.
Jika pelecehan mengandung unsur kekerasan verbal berbasis gender, pelaku juga bisa dikenakan sanksi berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Dalam pasal-pasal tersebut, pelecehan verbal dikategorikan sebagai tindakan yang merendahkan harkat dan martabat korban, yang dapat berujung pada hukuman pidana.
Contoh nyata bagaimana petinggi perguruan tinggi bisa terjerat kasus seperti ini pernah terjadi di Indonesia. Salah satu kasus yang cukup menyita perhatian adalah kasus Rektor Universitas Negeri Lampung (Unila), Karomani, yang sempat menjadi sorotan pada tahun 2022.
Meski kasus utamanya adalah korupsi penerimaan mahasiswa baru, banyak laporan yang menyebut bahwa gaya kepemimpinannya penuh intimidasi verbal terhadap dosen dan staf.
Komunikasi yang kasar, ancaman terselubung, serta tindakan sewenang-wenang dalam mengelola SDM menunjukkan bahwa perilaku tak beretika di kalangan pimpinan universitas bukan sekadar isapan jempol.
Selain itu, dalam kasus yang lain, pernah juga mencuat kasus di mana seorang rektor di perguruan tinggi swasta di Jakarta dilaporkan oleh bawahannya atas tuduhan perundungan dan pelecehan verbal.
Dalam laporan tersebut, staf mengaku sering mendapatkan ucapan merendahkan, dikritik secara tidak profesional di depan umum, serta diperlakukan tidak adil dalam pembagian tugas.
Meskipun sulit membuktikan pelecehan verbal yang sifatnya sangat personal, keberanian korban untuk melapor menjadi titik balik penting dalam menciptakan lingkungan akademik yang lebih sehat.
Pelecehan verbal oleh rektor terhadap staf bukan hanya melukai perasaan individu, tetapi juga menciptakan budaya ketakutan di lingkungan kampus.
Hal ini merusak atmosfer akademik yang seharusnya mendorong pertumbuhan intelektual, kolaborasi, dan inovasi.
Bukannya menjadi ruang aman untuk belajar dan berkembang, kampus malah berubah menjadi ladang kekuasaan yang memberangus kebebasan berpikir.
Adanya celah kekuasaan yang begitu besar di tangan rektor menyebabkan banyak korban memilih diam. Mereka khawatir akan karier dan masa depan mereka jika berani bersuara.
Kondisi ini memperlihatkan betapa pentingnya sistem pengawasan internal yang kuat di lembaga pendidikan tinggi.
Ombudsman kampus, unit pengaduan independen, serta perlindungan terhadap whistleblower menjadi keharusan untuk mencegah dan menangani penyalahgunaan wewenang.
Dalam konteks budaya organisasi, membiarkan pelecehan verbal terus terjadi tanpa tindakan tegas sama saja dengan membudayakan kekerasan struktural.
Dosen, staf, hingga mahasiswa seharusnya mendapat ruang untuk menyampaikan keluhan tanpa rasa takut.
Reformasi budaya kampus menjadi pekerjaan rumah besar, tidak hanya di tingkat manajemen, tetapi juga dalam membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya perilaku etis.
Seorang rektor yang berbicara tentang etika di atas podium, namun di balik layar menebar pelecehan, adalah wajah munafik dari dunia pendidikan kita.
Ia bukan lagi simbol perubahan, melainkan bagian dari masalah itu sendiri. Hukum memang memberikan jalan bagi korban untuk mencari keadilan, namun yang lebih utama adalah mencegah munculnya “monster berjas akademik” dengan membangun sistem yang transparan, akuntabel, dan berbasis nilai kemanusiaan.
Untuk itu, kampus bukanlah kerajaan kecil untuk menumpuk kekuasaan, melainkan ladang subur bagi lahirnya peradaban.
Sudah saatnya dunia pendidikan membersihkan dirinya dari para pemimpin yang mengotori nilai luhur akademisi dengan perilaku yang jauh dari kata beretika. (Wdy)