UIN Palopo, Pedoman Mahasiswa, dan Pagar yang Tak Mau Hijrah

Opini8859 Dilihat

Oleh: Wahdi Laode Sabania

Umat kampus sekalian, bersiaplah angkat tangan, buka kitab suci terbaru yang diterbitkan bukan dari langit tapi dari ruang rapat birokrasi tingkat dewa.

Inilah dia Pedoman Mahasiswa UIN Palopo, sebuah kitab panduan mulia yang disusun demi menciptakan suasana kampus yang kondusif, intelektual, spiritual, dan tentu saja… steril dari suara kritis yang terlalu keras. Aamiin.

Kampus kami, yang dulunya bernama STAIN, lalu ganti baju jadi IAIN, dan kini sudah resmi pakai jubah kehormatan UIN, ternyata masih menyimpan nostalgia masa lalu.

Betapa tidak, pagar kampus yang berdiri dengan penuh khidmat di depan gerbang utama itu, sejak era Megawati masih jadi Wakil Presiden, sampai hari ini masih kokoh menampilkan nama… STAIN.

Ya, STAIN! Bukan karena lupa diganti, tapi karena mungkin terlalu sakral untuk diturunkan. Pagar itu barangkali dianggap sudah punya maqam wali. Mengubahnya sama saja mengganti sejarah. Bisa-bisa nanti air sumur kampus jadi keruh dan wifi ngadat.

Pedoman Mahasiswa adalah Petunjuk Jalan Lurus

Dalam pedoman mahasiswa itu disebutkan bahwa mahasiswa harus bersikap tertib, sopan, intelek, dan tentu saja “tidak anarki”. Nah, sampai di sini kami sepakat. Mana ada mahasiswa yang mau demo sambil bakar ban, kecuali memang dia habis nonton dokumenter 1998 dan kepingin nostalgia.

Tapi tunggu dulu. Dalam Poin F: Demonstrasi dan Demokratisasi, mahasiswa diwajibkan untuk tidak membakar ban. Baiklah. Kami bisa maklumi. Tapi yang anehnya, poin itu ditulis seolah-olah membakar ban adalah dosa besar yang menyaingi syirik.

Bahkan tidak disebutkan apakah mahasiswa boleh membakar semangat. Itu juga belum jelas. Mungkin kalau semangat sudah terbakar, itu dikhawatirkan akan menjalar ke ban.

Apakah para penyusun pedoman ini pernah merasakan jadi mahasiswa? Pernah ikut aksi menolak UKT naik? Pernah tidur di depan rektorat demi memperjuangkan hak dasar mahasiswa miskin? Ah, mungkin mereka lebih sering tidur siang di ruang ber-AC sambil menandatangani SK mutasi dosen yang dianggap terlalu vokal.

Baca juga:  Keterkaitan Fasilitas Kampus yang Tidak Memadai dan UKT di IAIN Palopo

Dan yang paling jenaka, mahasiswa kini disarankan agar jika ingin berdemo, harus komunikatif, jujur, dan rasional. Wah, ini mahasiswa apa moderator debat capres?

Mahasiswa atau Siswa Plus?

Ketika saya membaca pedoman itu, kami sempat salah kira. Saya kira itu adalah buku tata tertib siswa tapi ternyata bukan. Itu adalah kitab suci mahasiswa UIN Palopo.

Maka sejak itu, kami mengubah cara berpikir mahasiswa. Ternyata menjadi mahasiswa bukan berarti otomatis naik kasta dari siswa.

Di UIN Palopo, status mahasiswa adalah semacam “siswa versi dewasa”, bedanya hanya bisa memilih ketua himpunan dan boleh merokok di belakang fakultas.

Kalau dulu siswa dilarang berdemo, sekarang mahasiswa juga dilarang berdemo kalau tidak sesuai tata cara. Jangan membakar ban, jangan mencela, jangan nyindir rektor, jangan main sindiran di IG Story.

Pokoknya kalau bisa, kritiklah birokrasi dengan bisik-bisik sambil membawa bunga mawar. Kalau mau lebih resmi, pakailah surat dengan bahasa yang sopan dan tunduk dengan ditujukan kepada Yang Mulia Para Penguasa Akademik.

UKT Dibayar, Mulut Dilarang

Nah, ini yang paling membingungkan. Mahasiswa adalah makhluk yang membayar. Bukan digaji, bukan disubsidi, bukan dimanjakan. Tapi justru diminta bayar. Lalu ketika mereka hendak bersuara, muncul pedoman yang secara tidak langsung menempelkan lakban di mulutnya.

Kalau demo harus elegan. Kalau kritik harus diplomatis. Kalau mau protes soal fasilitas kampus yang tak sebanding dengan UKT, harus pakai bahasa sopan.

Sepertinya para petinggi kampus lupa bahwa yang namanya mahasiswa itu bukan hanya tukang absen dan pembeli kopi di kantin. Mahasiswa adalah jantung peradaban. Kalau dilarang berdetak, jangan salahkan kalau nanti seluruh tubuh akademik mengalami mati suri.

Demokrasi? Harus Sesuai SOP

Dalam pasal demokratisasi, tertulis bahwa kebebasan berpendapat tetap dijamin asal sesuai prosedur dan tidak menimbulkan kegaduhan. Wahhh… Ini sungguh luar biasa. Demokrasi tapi pakai SOP. Ibarat disuruh menyampaikan cinta kepada pacar, tapi harus melalui biro jodoh.

Baca juga:  Cegah Stunting Itu Penting bagi Generasi Bangsa

Saya tak bisa bayangkan kalau Soekarno hidup di era ini. Mungkin ia tak jadi orator ulung, karena harus mengisi form izin bicara dari protokol kampus. Bung Hatta pun mungkin akan dicoret dari daftar alumni UIN Palopo karena terlalu rasional tanpa menyebut kata “izin rektor”.

Kritik seolah-olah adalah tindak kriminal, padahal kritik adalah tanda cinta.

Tapi bukankah justru itu fakta? Sejak berubah nama menjadi IAIN, lalu UIN, pagar itu tetap kokoh sebagai simbol kenangan masa lalu. Mungkin pagar itu sedang menunggu ijazah dari Kementerian Agama baru mau berubah.

Pagar STAIN dan Jiwa yang Tertahan

Sekarang mari kita bicara soal pagar. Di sinilah letak magis kampus ini. Nama UIN sudah diresmikan. Rektor sudah ganti dua kali. Tapi pagar tetap STAIN. Kami tak tahu apakah ini bentuk kesetiaan, kemiskinan anggaran, atau pengabdian pada masa lalu.

Di kampus lain, setiap pergantian status dari STAIN ke IAIN, atau IAIN ke UIN, biasanya langsung ditandai dengan baliho besar, spanduk gegap gempita, bahkan kembang api. Tapi di sini, simbol perubahan hanya terjadi di kop surat dan sambutan pejabat. Sementara pagar tetap setia pada nama lama.

Barangkali pagar itu lebih punya prinsip daripada sebagian birokrat kampus. Ia tidak mudah berubah demi jabatan. Ia teguh, kukuh, dan tak tergoda gelar “negeri”.

Ada juga yang berbisik bahwa dana untuk ganti pagar sudah masuk anggaran, tapi entah menguap ke mana. Ada yang bilang dana itu habis untuk membuat video promosi kampus yang hanya ditonton oleh tiga orang, editor, rektor, dan supir kampus.

Ada juga yang bilang, itu semua bagian dari strategi “branding nostalgia”. Pagar lama, jiwa baru. Entahlah. Yang jelas, setiap mahasiswa baru yang lewat pagar itu, langsung mengira mereka masuk STAIN, lalu harus diberi penjelasan bahwa “ini sebenarnya UIN, tapi jangan tanya soal pagarnya.”

Baca juga:  Dzikir dan Doa Awal Tahun Islam Warnai Semangat Hijriah di Kota Palopo

Satire sebagai Jalan Tengah

Dalam dunia yang makin digital, mahasiswa dituntut untuk kreatif, inovatif, dan adaptif. Tapi kampus kadang justru menghalangi. Mahasiswa kritis dianggap ancaman. Mahasiswa aktif dianggap berisik. Mahasiswa vokal dituduh cari panggung. Padahal kampus yang sehat adalah kampus yang gaduh oleh ide, bukan sunyi karena takut.

Maka tak heran kalau sekarang mahasiswa mulai memilih jalur satire. Mereka tidak lagi demo, tapi bikin meme. Tidak lagi orasi, tapi bikin konten TikTok. Tidak lagi duduk-duduk di depan rektorat, tapi komentar nyinyir di sosial media. Sebab di zaman ini, kritik harus bersayap, satire harus cerdas, dan protes harus tampil dalam bentuk lucu agar tidak dituduh radikal.

Tapi ya sudahlah. Mungkin memang kita harus belajar lebih banyak dari pagar itu. Tetap berdiri di tempat meski dunia berubah. Tetap bertuliskan STAIN, meski kampus sudah berubah status. Dan tetap kokoh, meski mahasiswa datang dan pergi.

Penutup yang Tidak Mewah

Akhir kata, pedoman mahasiswa itu mungkin disusun dengan niat baik. Tapi dalam pelaksanaannya, ia lebih mirip aturan lalu lintas di tengah padang pasir. Lengkap, dan rinci tapi tidak relevan.

Yang perlu diingat oleh kampus mahasiswa itu bukan musuh, bukan beban, dan bukan objek disiplin. Mahasiswa adalah sahabat dialog, mitra perubahan, dan kadang pengingat bahwa dunia akademik bukan milik pejabat saja.

Dan tolonglah, sebelum menerbitkan edisi revisi Pedoman Mahasiswa jilid dua, ganti dulu tulisan di pagar itu. Kasihan nantinya anak baru. Sudah bayar UKT mahal-mahal, masa masuk kampus kayak nyasar ke museum sejarah?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *