Mahbub Djunaedi Pewarta yang Menulis dengan Ketajaman dan Jenaka

Opini966 Dilihat

Oleh: Wahdi Laode Sabania

Siapa yang tidak mengenal Mahbub Djunaedi? Nama itu mungkin tidak sepopuler Pramoedya Ananta Toer di rak-rak toko buku hari ini, namun di kalangan jurnalis dan sastrawan, Mahbub adalah sosok yang menorehkan jejak penting dalam dunia kepenulisan Indonesia.

Ia bukan sekadar wartawan, bukan sekadar penulis esai, melainkan peletak tradisi jurnalistik yang jenaka, kritis, sekaligus tajam dalam menyindir rezim.

Mahbub lahir di Jakarta pada 27 Juli 1933, besar dalam pergolakan zaman yang keras, ketika kolonialisme baru saja runtuh dan republik masih mencari pijakan.

Ia memasuki dunia jurnalistik bukan dengan langkah yang mulus, melainkan melalui jalan berliku. Mengasah pena lewat rubrik-rubrik opini, menulis kolom, hingga akhirnya dikenal luas melalui tulisannya yang khas—satir, jenaka, dan penuh ironi.

Bung Mahbub, sapaan akrabnya menjadi semacam penulis yang hadir di ruang publik dengan gaya berbeda.

Kalau Pramoedya menyalakan obor lewat novel-novel realis yang pekat, Mahbub justru mengendapkan kritiknya dengan humor.

Gaya menulisnya menjadi semacam “komedi politik” yang tidak membuat pembaca tegang, tetapi justru tertawa getir.

Salah satu bukunya, Humor Jurnalistik, merangkum keahliannya meramu sindiran menjadi tawa yang menyentil.

Baca juga:  Materi Bukan Substansi Berdemokrasi, Integritas Calon Pemimpin Diuji!

Dari karya jurnalistiknya, kita bisa menelusuri bagaimana ia memandang kehidupan sehari-hari sebagai bahan kritik sosial.

Buku Dari Kolom ke Kolom (1987) memperlihatkan keterampilan itu menulis tentang hal-hal sederhana dari birokrasi, politik, hingga kebiasaan masyarakat dengan gaya yang ringan namun berbobot.

Sedangkan di ranah fiksi, Mahbub melahirkan dua novel Dari Hari ke Hari dan Angin Musim. Keduanya jarang dibicarakan dibandingkan karya Pram, namun tetap menunjukkan sisi literer Mahbub yang tak bisa diremehkan.

Mahbub sering disebut sebagai “penerus Pramoedya Ananta Toer”. Sebutan ini tidak lahir begitu saja. Kritiknya terhadap rezim Orde Baru menegaskan posisi itu. Bedanya, Pram lebih frontal dan muram, sementara Mahbub lebih memilih kelakar. Dalam kolom-kolomnya, Mahbub berani menyorot ketidakadilan, otoritarianisme, dan kebijakan pemerintah yang menyudutkan rakyat kecil.

Sikap itu jelas tidak mudah. Di masa Orde Baru, kritik terhadap pemerintah bisa berujung pada sensor, pembredelan, bahkan pemenjaraan. Mahbub, dengan gaya khasnya, seolah menemukan celah, mengubah kritik menjadi tawa, sehingga sulit ditindak secara hukum. Namun, substansinya tetap tajam. Inilah yang membuatnya disebut-sebut sebagai pewarta yang menulis dengan “otak Pram, tapi lidah Rendra” tajam, puitis sekaligus menghibur.

Baca juga:  Opini: Mengapa Harus Perempuan, Mengapa Harus Naili Trisal?

Dalam konteks pers Indonesia, Mahbub juga memiliki peran penting. Ia pernah menjadi Ketua Umum pertama Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) pada 1956, yang kelak melahirkan generasi jurnalis kampus dengan idealisme tinggi.

Dari sana, kita melihat bagaimana Mahbub bukan hanya penulis, tetapi juga organisatoris. Ia paham bahwa tulisan perlu ruang, dan ruang itu harus diperjuangkan bersama-sama.

Membaca Mahbub hari ini seperti membaca potret cermin bangsa yang tidak jauh berbeda dengan masa Orde Baru. Kritiknya terhadap korupsi, birokrasi yang lamban, hingga elite politik yang jauh dari rakyat masih relevan. Humor yang ia sisipkan tidak sekadar melucu, tetapi justru menambah bobot kritiknya.

Seperti kata Umar Kayam, humor adalah “senjata paling ampuh untuk menghadapi kesewenang-wenangan” (Kayam, 1990).

Sayangnya, generasi muda hari ini lebih mengenal tokoh seperti Pramoedya atau WS Rendra dibanding Mahbub.

Padahal, kehadiran Mahbub penting untuk memahami tradisi jurnalistik kritis Indonesia yang lahir dari rahim humor.

Dalam sejarah pers, kita punya banyak wartawan serius dan lugas, namun hanya segelintir yang bisa menulis dengan gaya satire dan tetap tajam.

Baca juga:  Program Pupuk Gratis, Petani Harus Kritis!

Mahbub meninggal pada 1 Oktober 1995. Usianya baru 62 tahun, tetapi warisan intelektualnya tetap hidup. Buku-bukunya masih bisa ditemui, meski tidak selalu mudah.

Ironisnya, nama Mahbub tidak banyak disebut dalam kurikulum pendidikan jurnalistik di kampus-kampus. Padahal, gaya penulisannya bisa menjadi inspirasi bagi wartawan muda agar tidak kaku, tidak melulu normatif, tetapi tetap kritis.

Dalam sebuah wawancara, Mahbub pernah berkata bahwa humor adalah cara paling manusiawi untuk mengkritik kekuasaan.

“Kalau kita marah-marah, penguasa akan marah balik. Tapi kalau kita tertawa, mereka bingung harus membalas dengan apa,” ujarnya (Tempo, 1987).

Ungkapan ini menjelaskan mengapa tulisan-tulisannya tetap segar hingga sekarang. Ia tidak hanya mengajarkan cara menulis, tetapi juga cara menghadapi kekuasaan dengan kecerdasan dan senyum sinis.

Hari ini, ketika kebebasan pers kembali menghadapi ujian, ketika kritik sering dibungkam dengan berbagai cara, warisan Mahbub terasa semakin relevan. Kita mungkin butuh lebih banyak pewarta seperti dia. Yang tidak takut pada kuasa, tidak hanyut dalam ketakutan, dan tetap setia pada rakyat—meski dengan tawa getir di balik pena.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *