Oleh: Wahdi Laode Sabania
Konon dalam dunia pendidikan tinggi yang mulia dan sakral itu, ada suatu kegiatan bernama Kuliah Kerja Nyata alias KKN. Kegiatan ini katanya bertujuan mulia, mahasiswa turun gunung mengabdi pada rakyat, dan membawa ilmu dari menara gading kampus ke gubuk reot di pelosok desa.
Begitu idealnya, hingga tak sedikit mahasiswa yang rela digigit nyamuk demam berdarah demi sekarung pengabdian. Tapi, itu konon. Di UIN Palopo, cerita itu bisa berubah menjadi “Kuliah Kebingungan Nasional.”
Bayangkan, pagi-pagi buta sekelompok mahasiswa berangkat survei ke desa yang konon sudah ditetapkan sebagai lokasi KKN mereka.
Mereka membawa semangat pengabdian, proposal kegiatan, dan tentu saja camilan, karena survei tanpa gorengan bisa menggoyahkan iman.
Tapi sesampainya di sana, mereka malah disambut bukan dengan tangan terbuka, melainkan dengan alis mengernyit dan mulut mengucap kalimat yang membuyarkan semangat
“Mahasiswa UIN Palopo mau KKN di sini? Kok tidak ada pemberitahuan?”
Begitu kata salah satu kepala desa yang didatangi mahasiswa survei. Spontan mahasiswa saling menatap, memastikan ini bukan prank atau acara talk show bertajuk “Misi Gagal.”
Salah satu mahasiswa bahkan hampir spontan bertanya balik, “Ini mimpi, Pak?”
Ternyata bukan mimpi. Kampus mereka yang terhormat, yang logonya bercahaya dan motonya panjang menjulang, belum juga mengirimkan surat resmi atau pemberitahuan pada pihak desa alias tidak ada konfirmasi. Jadi kalau mahasiswa datang-datang seperti sales asuransi yang tak diundang, itu bukan salah kepala desa. Itu karena sistem kampus mereka sedang mencoba teknik komunikasi baru, “telepati.”
Mari kita ulas ini secara logis. KKN dalam bayangan indah dunia akademik adalah jembatan antara ilmu dan masyarakat. Tapi di UIN Palopo, jembatannya belum selesai dibangun fondasinya saja belum dikirim ke lokasi.
Yang lebih menggelikan (atau menyedihkan, tergantung posisi Anda), adalah fakta bahwa mahasiswa datang membawa harapan, sementara kepala desa hanya membawa kebingungan.
Tidak ada posko yang disiapkan, tidak ada rumah yang dibersihkan, tidak ada karpet merah. Yang ada hanya keheningan desa dan secuil curiga “Jangan-jangan ini mahasiswa nyasar?”
Mahasiswa pun akhirnya berubah fungsi. Dari agen perubahan masyarakat menjadi utusan klarifikasi kampus. Mereka harus menjelaskan bahwa kampus mereka memang begitu adanya. Kadang cepat, kadang lambat, dan kadang lupa.
Dalam suasana akademik yang ideal, koordinasi antara kampus dan desa semestinya dilakukan jauh-jauh hari. Tapi ini UIN Palopo. Di sini, koordinasi adalah makhluk mitologis sering disebut jarang terlihat. Kalau ada buku panduan KKN mungkin bab pertamanya ditulis dengan pena yang tintanya kehabisan lalu hilang dibawa angin.
Tidak diketahui apakah pihak kampus sedang sibuk menulis proposal pengabdian atau sedang fokus menghitung jumlah spanduk “Kampus Islam Moderat” yang perlu dicetak.
Yang jelas, mahasiswa yang akan KKN sudah terseok-seok sendiri, mirip rombongan pengungsi yang mencari tempat berteduh.
Lucunya, jika nanti kegiatan KKN berjalan lancar karena usaha mahasiswa sendiri menyusun posko darurat, minta izin kepala desa, dan mengatur program kegiatan maka yang akan dapat pujian adalah kampus. Rektor bisa dengan bangga menulis status di media sosial
“Mahasiswa UIN Palopo sukses melaksanakan KKN di berbagai pelosok desa. Bukti nyata pengabdian!”
Padahal, kampus tak mengabari kepala desa, dan mahasiswa hampir dianggap penyusup.
Ini seperti orang tua yang tak hadir di acara wisuda anaknya, tapi tetap pamer foto toga anaknya di Facebook dengan caption “Perjuangan kami tak sia-sia.”
Jika dikaitkan dengan administrasi, maka bisa dikatakan kampus sukses dalam satu hal, yakni mengajarkan mahasiswa untuk belajar survive.
Susahnya mengurus birokrasi kampus membuat mahasiswa terbiasa menghadapi ketidakpastian hidup.
Hebat! Mereka tak hanya lulus sebagai sarjana, tapi juga sebagai ahli manajemen konflik dan komunikasi krisis.
Mari kita buat sedikit simulasi. Katakanlah Mahasiswa A akan berangkat KKN ke Desa X. Berdasarkan informasi dari LPM (Lembaga Pengabdian Masyarakat), desa tersebut sudah masuk dalam daftar. Mahasiswa A dan timnya lalu menyusun rencana bawa tenda darurat, senter, bahkan galon air sendiri. Tapi ketika tiba di Desa X, Kepala Desa justru menatap mereka seolah mereka makhluk asing.
“Siapa kalian? Mahasiswa UIN Palopo? Dari kampus yang di kota itu? Wah, tidak ada surat masuk. Tidak ada rapat. Tidak ada konfirmasi.”
Mahasiswa A pun lalu membuka folder dokumen, mencari file “Surat Tugas” yang mereka kira bisa menjawab semuanya. Tapi kepala desa tetap kukuh, “Ini belum resmi. Tidak bisa asal masuk.”
Akhirnya mahasiswa pulang. Tapi bukan ke kampus untuk mengadu, melainkan ke warung kopi, untuk mencari sinyal dan ketenangan jiwa.
Barangkali sambil menyusun rencana B pindah lokasi KKN ke desa yang lebih ‘welcome’ atau minimal, ke tempat yang punya Wi-Fi.
Sementara itu di kampus suasana tetap tenang. Para pejabatnya barangkali sedang rapat membahas pentingnya inovasi akademik, atau sedang memilih model baru seragam batik kampus.
Kisah ini bukan dongeng. Ini nyata, dan sialnya bukan satu kali terjadi. Seakan ada ketidaksinkronan struktural antara birokrasi kampus yang lambat dengan semangat mahasiswa yang gesit. Ibarat mobil yang mesinnya V8 tapi bannya belum dipompa. Ngos-ngosan jalan, tapi tetap disuruh ngebut.
Seharusnya kampus sebagai institusi pendidikan yang mendorong nilai-nilai Islam, keteraturan, dan kejujuran juga mengerti pentingnya komunikasi.
Minimal kalau mau mengirim mahasiswa ke desa, beri tahu dulu aparat desa. Jangan sampai kepala desa merasa kecolongan sementara mahasiswa merasa ditelantarkan.
Akhir kata, KKN seharusnya jadi ajang pembelajaran, bukan ajang pelajaran sabar. Tapi, inilah UIN Palopo. Kadang, sabar adalah mata kuliah tambahan yang tidak tertulis di KRS.
Mahasiswa belajar banyak di luar kelas, bahkan sebelum KKN dimulai. Tentang komunikasi yang macet, birokrasi yang lambat, dan kampus yang diam-diam mempercayakan segala urusan kepada mahasiswa.