Opini: Rektor dengan Tindakan Otoriter: Apa yang Terjadi di Dunia Kampus?

Kolom2105 Dilihat

Fenomena tindakan otoriter yang dilakukan oleh beberapa rektor di perguruan tinggi semakin mendapat perhatian. Dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak kasus di mana rektor bertindak seolah-olah memiliki kekuasaan absolut di kampus, tanpa memberikan ruang bagi masukan dari dosen, mahasiswa, atau pihak terkait lainnya.

Hal ini menimbulkan pertanyaan besar tentang bagaimana seharusnya kepemimpinan di dunia pendidikan tinggi dijalankan, terutama ketika prinsip-prinsip demokrasi dan keterbukaan dalam pengambilan keputusan semakin diabaikan.

Pada dasarnya, rektor sebagai pemimpin di sebuah perguruan tinggi seharusnya berperan sebagai fasilitator, bukan sebagai penguasa yang hanya mengandalkan keputusan sepihak.

Seorang rektor harus mampu membuka ruang dialog, memperhatikan kepentingan semua pihak yang terlibat, dan memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil didasari oleh musyawarah dan pertimbangan yang matang.

Kampus sebagai lembaga pendidikan tinggi, sejatinya merupakan tempat yang mengedepankan nilai-nilai kebebasan berpikir, pertukaran ide, serta kolaborasi antara berbagai elemen akademik.

Namun, apabila seorang rektor mulai bertindak layaknya seorang diktator yang mengabaikan proses demokratis, maka akan muncul masalah yang lebih besar di kemudian hari.

Sikap otoriter ini sering kali terwujud dalam keputusan-keputusan yang diambil secara sepihak, tanpa adanya konsultasi atau diskusi dengan pihak-pihak yang terlibat dalam keputusan tersebut.

Misalnya, kebijakan-kebijakan yang ditetapkan tanpa mendengarkan aspirasi dari dosen atau mahasiswa, padahal mereka adalah pihak yang paling merasakan dampak dari kebijakan tersebut.

Baca juga:  Jurnal Gerakan Gusdurian Edisi Satu Tahun 2023: Robohnya Gereja Kami

Keputusan yang diambil tanpa melibatkan mereka bisa menimbulkan perasaan tidak dihargai dan bahkan menciptakan ketidakpercayaan terhadap kepemimpinan rektor.

Kepercayaan ini sangat penting karena dalam lingkungan akademik, kolaborasi antara berbagai pihak sangat diperlukan untuk menciptakan atmosfer yang mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan yang berkualitas.

Selain itu, tindakan otoriter ini juga berpotensi menekan kebebasan berpendapat. Di lingkungan kampus yang seharusnya terbuka terhadap berbagai pandangan dan gagasan, tindakan seorang rektor yang bersikap otoriter justru bisa mengekang diskusi yang sehat dan mempersempit ruang bagi perbedaan pendapat.

Padahal, dalam dunia akademik, perbedaan pendapat adalah hal yang wajar dan bahkan diperlukan untuk memicu perkembangan pemikiran yang lebih mendalam.

Jika seorang rektor memilih untuk mengabaikan masukan atau kritik dari civitas akademika, maka hal ini bisa mengarah pada terhambatnya inovasi dan kemajuan di lingkungan kampus.

Sikap otoriter juga sangat bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi yang seharusnya diterapkan dalam pengelolaan perguruan tinggi. Di kampus, proses pengambilan keputusan haruslah melalui musyawarah yang melibatkan semua pihak, termasuk mahasiswa, dosen, dan staf administrasi.

Demokrasi di kampus bukan hanya soal pemilihan rektor atau pejabat lainnya, tetapi juga tentang bagaimana kebijakan-kebijakan yang diambil bisa mencerminkan prinsip keadilan, keterbukaan, dan partisipasi.

Baca juga:  Binatangisme: Terjemahan Kreatif Mahbub Djunaedi Animal Farm karya George Orwell

Ketika prinsip-prinsip ini diabaikan, maka atmosfer kampus akan semakin terkekang, dan semangat untuk berinovasi serta berkarya pun bisa meredup.

Keputusan sepihak yang diambil oleh rektor juga dapat menimbulkan ketegangan di kalangan civitas akademika. Ketika rektor tidak membuka ruang untuk diskusi atau bertanya kepada pihak-pihak yang terkait, maka keputusan tersebut dapat dianggap sebagai tindakan yang otoriter dan tidak demokratis.

Ketegangan ini bukan hanya akan berujung pada perasaan frustrasi di kalangan mahasiswa dan dosen, tetapi juga bisa merusak keharmonisan yang seharusnya terjalin di antara seluruh elemen kampus. Hubungan yang sehat antara rektor dan civitas akademika sangat penting untuk menciptakan suasana yang kondusif bagi pembelajaran dan penelitian.

Selain itu, dalam jangka panjang, kepemimpinan yang otoriter dapat mempengaruhi iklim akademik di kampus. Kampus yang sehat adalah tempat di mana berbagai ide dan pandangan dapat berkembang, di mana kebebasan untuk berpikir dan berekspresi dijunjung tinggi, dan di mana setiap orang merasa dihargai kontribusinya.

Namun, apabila rektor lebih cenderung untuk memaksakan kebijakan tanpa melibatkan semua pihak terkait, maka ini bisa menciptakan ketidakpuasan yang mendalam.

Dalam situasi seperti ini, mahasiswa dan dosen mungkin merasa bahwa mereka tidak punya suara dalam menentukan arah kebijakan kampus, yang pada akhirnya dapat mengurangi motivasi mereka untuk terlibat aktif dalam kehidupan akademik.

Baca juga:  Opini: Caleg!

Penting untuk dicatat bahwa rektor memiliki tanggung jawab besar dalam memimpin perguruan tinggi. Mereka bukan hanya pemimpin administratif, tetapi juga simbol dari nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh perguruan tinggi itu sendiri.

Oleh karena itu, seorang rektor harus mampu menunjukkan sikap yang adil, bijaksana, dan terbuka terhadap semua masukan yang ada. Kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang mampu mengakomodasi berbagai perbedaan, bukan yang menekannya.

Reaktor yang bijaksana akan berusaha untuk membawa semua elemen kampus dalam satu tujuan bersama, yaitu menciptakan lingkungan akademik yang produktif, inklusif, dan mendukung perkembangan ilmu pengetahuan.

Pada akhirnya, fenomena rektor dengan tindakan otoriter ini mengingatkan kita tentang pentingnya prinsip-prinsip demokrasi dan keterbukaan dalam kehidupan kampus.

Sebagai lembaga pendidikan, kampus harus menjadi ruang yang bebas dari tekanan dan kontrol yang bersifat otoriter.

Hanya dengan cara inilah, dunia pendidikan tinggi dapat berkembang secara sehat, dan menciptakan lulusan yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki kemampuan untuk berpikir kritis dan bertanggung jawab sebagai warga negara. (Wahdi Laode Sebania)

Komentar