Di suatu hari yang biasa-biasa saja dalam grup WhatsApp yang diberi label “keluarga” entah karena isinya benar-benar seperti keluarga atau justru karena kelakuannya yang seperti drama keluarga sinetron episode 1001 berkumpullah beragam jenis makhluk akademik.
Mulai dari mahasiswa, alumni, hingga para dosen yang bergelar panjang dan mulia, berkumpul dalam satu grup yang kadang lebih menyerupai gua dibanding ruang diskusi gelap, sunyi, dan penuh gema puja-puji.
Saya termasuk penghuni grup itu. Bukan penghuni tetap, apalagi penghuni aktif, lebih mirip penumpang gelap yang diam-diam menyimak, hanya muncul ketika ada yang benar-benar menggoda jari untuk mengetik.
Dan momen itu datang sebuah obrolan soal dosen yang memberi tugas menulis kepada mahasiswanya seolah biasa saja.
Namun muncul plot twist yang klasik sekaligus menyedihkan, dimana tulisan mahasiswa itu yang disusun dengan sungguh-sungguh dan Om Google mendadak menjadi buku.
Akan tetapi penulisnya bukan sang mahasiswa, melainkan para doktor yang entah dari mana datangnya dalam proses kreatif itu.
Mahasiswa yang menulis, dosen yang menempelkan nama. Mahasiswa yang bangga karena katanya namanya akan masuk di kata pengantar. Ada yang senang, merasa diberi panggung. Tapi ada juga yang marah, karena tahu betul bahwa karya itu adalah hasil kerja keras bersama temannya. Dan itu menjadi hadiah untuk mereka yang sibuk “mengedit” dan langsung naik pangkat jadi “penulis.”
Ketika ada yang keberatan, muncul respons khas “Jangan tidak beradab!” Kritik dianggap tindakan amoral apalagi jika disuarakan keluar grup.
Lalu muncul komentar-komentar penuh adab “Sok jagoan!”, “Tidak tahu diri!”, “Suatu saat kau akan mengemis nilai padaku!”
Sementara itu, yang selalu menyerukan adab justru pelanggar etika, penjiplak tulisan, dan penjaga gengsi akademik.
Apakah benar kritik adalah lawan dari adab?
Apakah mempertahankan hak atas tulisan sendiri adalah bentuk kebiadaban?
Disinilah letak persoalan yang ingin saya angkat,
“Adab kini telah dijadikan alat pembungkam, bukan nilai luhur yang mendampingi pencarian kebenaran.”
Ia telah direduksi menjadi alat kekuasaan bukan cermin integritas akademik. Padahal kampus seharusnya adalah ladang produksi pemikiran kritis bukan ladang panen pujian dan kepatuhan.
Yang menyuarakan kritik kini dituduh merusak harmoni, sementara yang mencuri karya diberi tempat terhormat karena bergelar tinggi dan punya jabatan.
Kritik dijadikan virus, adab dijadikan vaksin padahal yang menyebarkan penyakit justru mereka yang menyalahgunakan wewenang dan menyulap karya orang lain jadi mahkota sendiri.
Tragisnya, apabila kritik datang dari mahasiswa yang paham haknya, sang dosen malah mengancam dengan kalimat “Suatu saat kau akan datang mengemis nilai.” Ancaman seperti ini seharusnya menjadi alarm, bahwa ada yang sangat salah dalam relasi kuasa di ruang akademik.
Seharusnya, seorang akademisi adalah pribadi yang lapang dikritik, karena tugas utamanya adalah membimbing pencarian kebenaran, bukan menegakkan kultus individu.
Kampus bukanlah altar persembahan bagi ego, tapi ruang perdebatan sehat untuk merawat akal sehat.
Maka, mari kita kembalikan makna adab ke tempat semestinya sebagai nilai yang mengawal pemikiran kritis, bukan palu godam untuk membungkam suara yang berbeda.
Dan jika ada yang mengklaim karya orang lain sebagai miliknya, jangan bungkus itu dengan dalih “adab” karena itu bukan adab, itu perampokan.
Adab itu bukan tentang diam dan tunduk. Adab adalah keberanian menyatakan yang salah itu salah meski pelakunya bergelar doktor.
Penulis : Arya Gandi Abdillah
Editor : Wahdi Laode Sabania