Stalin dan Seekor Ayam

Opini3044 Dilihat

Ketika saat pertemuan bersama seluruh anggota parlemen, Josef Stalin (diktator Soviet yang hidup tahun 1878-1953) meminta asistennya untuk membawakannya seekor ayam.

Dia menggenggam erat ayam tersebut dengan satu tangan dan mulai mencabut bulunya satu persatu dengan tangan lainnya, ayam tersebut kesakitan dan mencoba berlari, namun apalah daya, ayam tersebut tidak mampu melepaskan diri.

Lalu Stalin berkata kepada asistennya, “Sekarang lihat apa yang akan terjadi”. Dia meletakkan ayam tersebut yang kemudian ayam itu lari menjauh darinya.

Namun pada saat yang sama Stalin mengambil segenggam gandum, sementara semua anggota parlemen menyaksikan dengan takjub. Betapa ayam itu ketakutan, sakit dan berdarah tapi malah lari mengejar saat Stalin sedang menghamburkan gandum ke arahnya.

Ayam itu terus mengejarnya, kemudian Stalin berkata, “Begitu mudahnya memerintah pada wilayah orang-orang yang tidak mau berpikir. Kalian lihat bagaimana ayam itu mengejarku meski aku sudah membuatnya kesakitan.

Begitulah kebanyakan orang, mereka teraniaya dan diperalat oleh para pemimpin dan politisi, lalu jadi pengagum hanya karena menerima hadiah murahan.

Relevansi terhadap kebenaran itu tentu semua orang dapat merasakan bahwa begitu mudahnya orang-orang bisa digiring pada sesuatu yang mereka sendiri tidak dapat memahaminya.

Mungkin saja keadaan itu sama seperti hari ini yang kita rasakan bahwa konsekuensi dari kepemimpinan politik yang memang faktanya hanya mampu menyisakan satu variabel ke dalam mindset masyarakat kita.

Bahkan para anak anak kita dirumah atau mereka yang menyaksikan di media percaya bahwa, ternyata suaranya dapat ditukar dengan sesuatu, politik hanya menjadi urusan enak atau tidak enak bahkan semua bisa kalau ada uang, semua menjadi hal yang lumrah sehingga semua orang berpotensi tumbuh sebagai inferior, tidak punya mentalitas yang kuat untuk menjaga harga dirinya sehingga menjadi money oriented atau matrealistis. Bahkan yang lebih parah lagi tanpa disadari semua itu dapat merusak aqidah.

Baca juga:  Pentingnya Mekanisme FPIC Dalam Proses Pembangunan

Padahal didalam konstitusi kita utamanya pada alinea pertama mengatakan “Sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.

Pesan moralnya adalah menempatkan manusia sebagai mahluk mulia terhadap spiritualismenya dan materialismenya, sehingga dapat keluar dari kebodohan, kemiskinan, kehinaan ketertindasan dan ketimpangan yang semua itu dapat di wujudkan melalui keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebab itulah kontrak sosial politik antara rakyat, negara dan pemerintah.

Namun faktanya semua itu hanyalah menjadi fatamorgana sebab kebanyakan para pemimpin atau orang yang sedang dalam tampuk kekuasaan kebanyakan menjadi feodal oleh sebab memang dari awal mereka di brain untuk menjadi takut dan tunduk pada perintah partai bukan untuk bertengkar dengan pikiran demi kepentingan rakyat sehingga menyebabkan rakyat menjadi lelah dan apatis terhadap keadaan.

Pada pengetahuan konstruksi ada istilah yang dikenal dengan sebutan metal fatigue atau kelelahan pada logam yaitu suatu kondisi melemahnya logam akibat tekanan atau beban berulang yang menyebabkan logam patah pada tekanan yang berulang.

Baca juga:  Peran Milenial dalam Penyusunan Status Desa Melalui Pengembangan Ekonomi Lokal Desa

Kelelahan logam merupakan konsep penting dalam ilmu material dan teknik. Begitupun pada diri manusia yang disebut mental fatigue atau kelelahan pada mental sebagai akibat dari tekanan atau beban hidup yang tidak dapat teratasi dengan baik.

Maka sepantasnya pemerintah atau orang yang sedang berkuasa dapat mengambil langkah konsolidasi pada semua pihak demi menyatukan apa yang selama ini terkesan mencederai hak hak konstitusional masyarakat atau mereka yang tercecer kecerdasannya, salahsatunya adalah menyangkut paradigma berdemokrasi utamanya pada hal-hal yang berkaitan dengan kekacauan interpretasi politik dalam masyarakat yang seringkali terjadi, sehingga mengakibatkan oleh kebanyakan orang tidak mampu membedakan antara civilian value dan kekuasaan politik.

Apalagi pada era modern saat ini situasinya makin diperparah oleh penggunaan medsos yang berlebih dimana kebanyakan orang lebih mengkonsumsi konten sensasi ketimbang substansi yaitu mereka lebih memilih tontonan yang tidak berkualitas sehingga mengakibatkan brain rot atau pembusukan otak dan menjadi ancaman tersembunyi pada era digital saat ini.

Faktanya memang kebanyakan orang saat ini menggenggam tekhnologi digital namun otak masih dalam posisi analog. Inilah pintu masuk atau penyebab mengapa kekuasaan itu sering kali menunggangi gelombang pasang kebodohan atau riding the tidal wave of stupidity.

Ketika kekuasaan menunggangi kebodohan maka kekuasaan akan selalu memelihara kemiskinan agar masyarakat mudah dikontrol, salah satunya melalui sogokan atas nama bantuan atau pemberian amplop.

Semua itu akibat dari kurangnya pemahaman pada masyarakat tentang relasi kekuasaan, sehingga kebanyakan masyarakat menganggap bahwa bantuan bantuan dan amplop masih lebih baik dari pada kekuasaan yang baik.

Baca juga:  PKM Gizi Seimbang Pada Ibu Hamil

Parahnya lagi bahwa saat ini masyarakat kita memang kebanyakan adalah masyarakat yang masih tergolong hedonis dan gila jabatan.

Itulah sebabnya mengapa orang-orang selalu ingin berdekatan pada sumber sumber kekuasaan atau biasa disebut kaum pencari blessings in disguise atau pencari berkah terselubung dari remah remah yang ada pada kekuasaan, padahal daya rusak kaum seperti itu lebih berbahaya dari pada daya rusak nuklir.

Kebanyakan orang tidak menyadari bahwa didalam politik rentan terjadi kemaksiatan atau politic is the art of the possible, yaitu didalam politik semua hal bisa saja terjadi termasuk terjadinya persekutuan kejahatan atau kemaksiatan pada sebagian kalangan yang punya ambisi berlebih pada kekuasaan.

Mereka menganggap bahwa politik bukanlah tentang yang baik atau yang buruk, tapi politik adalah tentang yang berhasil. Artinya bahwa untuk menuju puncak kekuasaan semua cara dapat dilakukan termasuk cara cara kotor atau playing devil’s advocate.

Untuk itu semua orang agar dapat kembali untuk saling mengingatkan bahwa kekuasaan harus berlandaskan moral dan etika sebagai pijakan dasar dalam menjalankan roda pemerintahan.

Bahkan dalam physico kekuasaan disebutkan bahwa siapapun orang maka dia tidak boleh di pandang remeh, sebab ketika dia berkuasa maka kekuasaan itu mampu memberikan kekuatan pada dirinya untuk melakukan apapun yang dia inginkan termasuk MENGHENTIKAN KEBURUKAN dan MELAKUKAN SESUATU YANG LEBIH BARU dan LEBIH BERMARTABAT.

Rusdy Maiseng, Palopo 11 Maret 2025