hashtagnews.id – Fenomena “war takjil” kembali menyemarakkan bulan Ramadan tahun ini, seiring dengan maraknya tagar #WarTakjil dan #TakjilWar di media sosial.
Berbagai akun membagikan konten mengenai pengalaman mereka berburu takjil di sejumlah spot yang ramai dikunjungi.
Bahkan, sejumlah kalangan nonmuslim pun turut serta dalam tradisi ngabuburit ini, yang sebelumnya identik dengan kaum muslim yang menjalankan ibadah puasa.
Fenomena ini pertama kali mencuat pada tahun lalu, seiring dengan konten-konten viral yang memperlihatkan bagaimana umat nonmuslim ikut berburu takjil bersama umat muslim.
Dilansir dari Liputan6.com, Sosiolog Universitas Indonesia, Ricardi S. Adnan, menyatakan bahwa dorongan utama fenomena ini adalah kebutuhan individu untuk merasakan sensasi baru dan seru.
Menurutnya, konsep “war” menjadi daya tarik tersendiri, terutama di Indonesia, di mana baik orang tua maupun muda menyukai keseruan seperti itu.
“Kalau ada war, seru ya. Paling tidak di Indonesia, baik tua maupun muda, semua senang cari seru-seruan,” ujar Ricardi, Jumat (7/3/2025).
Keseruan ini semakin intens karena waktu berburu takjil yang terbatas, yaitu antara pukul 16:30 hingga jelang waktu berbuka puasa sekitar pukul 18:00. Menurut Ricardi, kehadiran banyak pilihan takjil di berbagai lokasi menambah daya tarik fenomena ini.
Makanan dan minuman khas Ramadan, seperti kolak dan lemang tapai, memang selalu dinanti-nantikan dan memiliki penggemar yang tak hanya terbatas pada umat muslim.
“Karena waktu terbatas, berlomba-lombaan semua sehingga berburu untuk dapat,” tambah Ricardi.
Tak hanya itu, Ricardi menilai bahwa fenomena war takjil yang mulai sebagai canda antar-umat beragama ini juga bisa menjadi cara untuk mempererat hubungan sosial.
Dalam perspektif sosiologis, kegiatan berburu takjil dapat membangun solidaritas antar masyarakat yang berbeda latar belakang.
“Saat nonmuslim ikut berburu takjil, ini memberikan dampak sosial yang positif. Umat muslim pun melihatnya tidak masalah, siapapun boleh mendapatkan dan menikmati makanan tersebut, jadi tidak ada eksklusivitas,” tambah Ricardi.
Namun, fenomena ini tetap perlu dijaga dengan aturan-aturan yang berlaku.
Menurut Ricardi, dalam war takjil, “rule of the game” perlu diperhatikan agar tidak ada pihak yang menunjukkan sikap berlebihan, seperti langsung makan di tempat atau menunjukkan kemenangan mereka dalam berburu takjil.
Sementara itu, di sisi lain, fenomena ini juga dimanfaatkan oleh pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) untuk meraup keuntungan.
Tjahja Muhandri, dosen ilmu pangan dari IPB University, mengungkapkan bahwa momen war takjil memberikan peluang besar bagi UMKM untuk menjual produk mereka dengan cepat.
Makanan dan minuman yang sebelumnya jarang ditemukan, kini bisa muncul di Ramadan dan menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat.
“Sebagian besar dagangan mereka bisa terjual dengan cepat, hampir tidak ada yang tersisa. Yang penting, UMKM harus kreatif dan mau mengikuti tren yang ada,” ungkap Tjahja, Sabtu (8/3/2025).
Fenomena war takjil juga berperan dalam munculnya varian menu berbuka puasa yang lebih bervariasi. Masyarakat kini memiliki lebih banyak pilihan menu untuk berbuka, yang membuat momen ini semakin menarik.
Namun, Tjahja juga mengingatkan pentingnya menjaga kualitas produk dan kebersihan dalam penyajian, mengingat banyaknya penjual yang hadir di pasar ini.
“Para UMKM perlu menjaga kebersihan produk, wadah, dan cara penyajiannya. Konsumen akan senang jika melihat kebersihan dan kesan yang baik,” pesannya.
Dengan beragam fenomena ini, war takjil bukan hanya menjadi ajang berburu takjil, tetapi juga sarana untuk mempererat hubungan antar-umat serta mendongkrak ekonomi para pelaku usaha.
Meski demikian, keamanan dan kebersihan makanan tetap menjadi hal yang utama agar pengalaman berbuka puasa tetap menyenangkan dan aman bagi semua pihak. (*/Wdy)