PBNU Kritiki Revisi RUU TNI: Pengaruh Negatif Bagi Tata Kelola Pemerintahan!

Nasional959 Dilihat

hashtagnews.id – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Mohamad Syafi’ Alielha, yang dikenal sebagai Savic Ali, mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap pengaturan dalam Revisi Undang-Undang (RUU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) Nomor 34 Tahun 2004.

Ia menilai tidak rasional jika prajurit aktif TNI diizinkan untuk bertugas di lembaga-lembaga tinggi negara seperti Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Mahkamah Agung (MA).

Hal ini diungkapkan dalam sebuah pernyataan resmi yang dipublikasikan melalui situs PBNU pada Sabtu (15/3).

Menurut Savic, jabatan di Kejagung dan MA membutuhkan keahlian hukum yang sangat mendalam, sementara TNI tidak dididik dalam bidang tersebut.

Ia mempertanyakan keputusan untuk memungkinkan prajurit aktif TNI berkarier di lembaga-lembaga yang lebih berfokus pada penegakan hukum tersebut, karena dinilai tidak sejalan dengan kompetensi yang dimiliki oleh anggota TNI.

Baca juga:  Nama yang Isi Kabinet Prabowo-Gibran Diumumkan 20 Oktober

“Kompetensi hukum yang sangat tinggi diperlukan di Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung, sementara TNI tidak dilatih dalam hal tersebut,” ujarnya.

Sebagai alternatif, Savic menyebutkan bahwa TNI aktif dapat diterima di lembaga-lembaga yang lebih relevan dengan tugas mereka, seperti Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (SAR Nasional) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Savic juga mengkritik pembahasan RUU TNI yang dilakukan secara terburu-buru dan tertutup di Hotel Fairmont, Jakarta, yang dinilainya tidak mencerminkan transparansi yang seharusnya.

Menurutnya, pengaturan yang mengizinkan TNI menduduki jabatan di lembaga sipil dapat merusak tata kelola pemerintahan yang baik dan bertentangan dengan semangat reformasi yang terjadi pada tahun 1998.

Baca juga:  Sebelum Bergabung di PPP, Sandiaga Uno Lapor Jokowi dan Izin Kiai

Sementara itu, Direktur Wahid Foundation, Zannuba Arifah Chafsoh (Yenny Wahid), juga menyampaikan pandangannya mengenai hal ini.

Yenny mengungkapkan harapannya agar TNI tetap fokus pada tugas utamanya sebagai penjaga pertahanan negara dan tidak terlibat dalam urusan sipil dan politik, karena hal tersebut dapat mengganggu kualitas demokrasi Indonesia.

“Jika TNI memasuki ranah sipil, mereka harus melepaskan statusnya sebagai prajurit aktif. Itu adalah komitmen yang harus ada pada setiap anggota TNI,” tegas Yenny.

Ia juga mengingatkan pentingnya adanya standar yang jelas mengenai jabatan sipil dan keprajuritan agar tidak terjadi kerancuan dalam struktur pemerintahan.

Poin yang menjadi sorotan dalam revisi RUU TNI ini adalah penambahan jumlah lembaga yang dapat diisi oleh prajurit aktif TNI.

Baca juga:  Bukan Coretax! Cara Lapor SPT Pribadi di 2025

Semula hanya terdapat 10 lembaga, kini jumlahnya bertambah menjadi 16 lembaga, yang mencakup sektor-sektor seperti kelautan dan perikanan, keamanan laut, BNPB, BNPT, Kejaksaan Agung, dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPP).

Seiring dengan berkembangnya pembahasan RUU ini, polemik seputar peran TNI dalam lembaga sipil semakin memicu debat publik mengenai dampaknya terhadap tata kelola pemerintahan yang bersih dan demokratis. (Wdy)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *