Bhinneka Tunggal Ika Tanpa Masyarakat Adat Adalah Sebuah Kemunafikan?

Kolom8510 Dilihat

Indonesia yang dikenal dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar kumpulan budaya dan bahasa, tetapi juga rumah bagi masyarakat adat yang telah mendiami berbagai wilayah secara turun-temurun.

Mereka adalah penjaga kearifan lokal dan identitas bangsa yang eksistensinya justru telah ada jauh sebelum republik ini lahir.

Masyarakat adat merupakan komunitas yang hidup dalam tatanan hukum dan norma sosial khas yang mereka pegang erat.

Negara sejatinya telah mengakui keberadaan mereka secara konstitusional.

Sepertinyang tertuan dalam Pasal 18B UUD 1945 secara tegas menyebut negara menghormati dan mengakui keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang hal itu masih hidup dan selaras dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia atau biasa kita singkat dengan kata NKRI.

Baca juga:  Opini: Karakter Pemilih!

Namun, dalam praktiknya, pengakuan itu lebih sering menjadi formalitas belaka. Masyarakat adat justru terus mengalami tekanan, penggusuran, bahkan kriminalisasi atas nama pembangunan.

Laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebutkan bahwa konflik agraria terus meningkat dalam lima tahun terakhir.

Tahun 2024 mencatat jumlah tertinggi, dengan 295 kasus konflik atau meningkat hampir 22 persen dibanding tahun sebelumnya.

Terlebih, konflik-konflik ini bukan hanya soal perebutan lahan, tapi juga disertai kekerasan fisik dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat.

Ini mencerminkan bahwa masyarakat adat masih berada di posisi paling rentan kaum marjinal yang tidak mendapat perlindungan hukum yang memadai.

Negara, alih-alih hadir sebagai pelindung, namun justru kerap menjadi bagian dari masalah, terutama ketika proyek-proyek strategis nasional menggusur ruang hidup masyarakat adat demi kepentingan investasi atau infrastruktur.

Baca juga:  Bang Tiwa: Leg Day Kunci Proporsi Tubuh dan Kesehatan Jangka Panjang

Kondisi ini menunjukkan pentingnya kehadiran payung hukum yang kuat untuk melindungi masyarakat adat.

Sejak 2003, Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat telah dirumuskan sebagai inisiatif perlindungan hukum yang diajukan oleh komunitas adat sendiri.

Hingga kini, dua dekade telah berlalu dan RUU tersebut hanya masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tanpa kejelasan pembahasan di DPR RI.

RUU Masyarakat Adat sejatinya dapat menjadi solusi konkret untuk menyelesaikan konflik-konflik agraria dan memberikan kepastian hukum terhadap hak-hak masyarakat adat.

Dari hal diatas, kita melihat ketidaksungguhan DPR dalam mengesahkan RUU ini dan menunjukkan lemahnya komitmen negara terhadap perlindungan kelompok rentan.

Sudah saatnya DPR RI menempatkan RUU ini sebagai prioritas utama dalam pembahasan parlemen.

Baca juga:  Indonesia Darurat TBC, Kekurangan Dokter Spesialis Jadi Tantangan Besar

Penundaan demi penundaan ini hanya akan menambah luka dan memperpanjang ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat adat.

Oleh karena itu penulis meyakini pengesahan RUU Masyarakat Adat bukan hanya penting untuk masyarakat adat semata, tetapi juga menjadi cermin komitmen Indonesia terhadap prinsip keadilan sosial dan pengakuan atas keberagaman.

Tanpa RUU Masyarakat adat tersebut, semboyan Bhinneka Tunggal Ika hanya akan menjadi slogan kosong yang tak bermakna.

Penulis: Ishar

Editor: Wdy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *