‘Tiga Anak Saya Diperkosa’ Bisa Diusut Lagi Usai Viral di Dunia Maya

Hashtagnews.id – Baru baru ini Viral di media sosial soal penghentian kasus dugaan pemerkosaan anak oleh Polres Luwu Timur di Sulawesi Selatan.

Menanggapi hal itu, Mabes Polri memberikan jawaban atas viralnya permintaan untuk membuka kembali kasus dugaan perkosaan terhadap tiga kakak beradik di Luwu Timur, Sulawesi Selatan (Sulsel) yang penyelidikannya dihentikan oleh kepolisian setempat setahun lalu.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Rusdi Hartono, dalam konferensi pers, di Mabes Polri, Jakarta, menegaskan, kasus tersebut memang sudah dihentikan.

Namun, kasus itu bisa kembali dibuka, jika ditemukan bukti baru. “Penghentian penyidikan, itu belum semua final. Jika proses berjalannya ditemukan bukti-bukti baru, maka penyidikannya bisa dibuka kembali,” kata Rusdi.

Rusdi menjelaskan, laporan tersebut sudah ditindaklanjuti oleh penyidik Polri Luwu Timur.

Namun, kata Rusdi, setelah dilakukan gelar perkara, diperoleh kesimpulan tidak cukup bukti terkait dengan tindak pidana pencabulan tersebut.

“Oleh karena tidak cukup bukti, maka dikeluarkanlah surat penghentian penyidikan (SP3) kasus tersebut,” terang Rusdi.

Salah satu alasan kepolisian menghentikan penyelidikan, karena hasil visum dokter tidak ada tanda-tanda kekerasan. Polisi mengaku dua kali visum, satu kali di Puskesmas Malili, dan di RS Bhayangkara Makassar.

Sementara itu, LBH Makassar kemudian mendalami lebih jauh kasus ini. Ketua Divisi Perempuan Anak dan Disabilitas LBH Makassar Resky Pratiwi menilai sejak awal sudah ada cacat dalam penanganan kasus ini.

Menurut Resky, yang jadi masalah adalah anak-anak dalam kasus ini tidak didampingi orang tua atau pendamping lainnya saat di-BAP. Sebelum penghentian penyidikan, pelapor juga tidak didampingi pengacara.

Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), anak wajib didampingi orang tua dan pendamping bantuan hukum.

Kedua, lanjut Resky, pihaknya sudah pernah memberikan foto dan video terkait dugaan pencabulan terhadap anak-anak tersebut. Anak-anak ini, menurutnya, sebelumnya mengeluh sakit di area dubur dan vagina.

Ada juga hasil laporan psikolog anak yang menerangkan anak-anak bercerita soal kejadian kekerasan seksual yang dialami, yang melibatkan lebih dari satu orang. Bukti laporan psikolog itu juga sudah disetorkan ke polisi.

“Prosedur yang cacat itu juga disampaikan ke Polda, tapi semua argumentasi kami itu tidak ditindaklanjuti,” sambungnya.

Terkait hasil asesmen yang dilakukan P2TP2A Kabupaten Luwu Timur, Resky menyatakan pihaknya menganggap itu tidak bisa dijadikan dasar penghentian penyelidikan.

Menurutnya, sejak awal ada maladministrasi dan kecenderungan keberpihakan petugas P2TP2A Luwu Timur terhadap terlapor, yang merupakan ASN, sehingga asesmen yang diberikan tidak objektif.

Resky menjelaskan pihaknya terus berupaya mengadvokasi kasus ini. Terakhir pihaknya sudah bersurat ke Mabes Polri agar bisa mengevaluasi dan membuka kembali kasus ini, meski menurutnya sampai saat ini belum ada kemajuan.

“Kami akan tetap desak Polri untuk membuka kasus ini kembali,” tegasnya.

Diketahui, Kasus ini viral kembali sejak Kamis kemarin, 7 Oktober 2021. Sehari setelah mempublikasikan reportasenya, Project Multatuli, dalam akun twitternya, @projectm_org, mengaku mendapatkan serangan siber dan peretasan akun media sosial mereka.

Mendapat serangan DDos, situs Project Multatuli sulit diakses, sementara konten di Instagram terkait konten kasus dugaan pemerkosaan di Luwu Timur hilang karena adanya report.

Sejumlah media ternama kemudian mempublikasi ulang reportase Project Multatuli lewat platform masing-masing dan membuat isu ini menjadi viral di Twitter.

Terkait hal ini, akun resmi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), di Twitter (centang biru) @kontraS, juga ikut berkicau.

 (Dtk/Is)

Komentar