Hashtagnews.id – Akhir-akhir ini Publik dihebohkan tentang bocornya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang akan menetapkan sistem proporsional tertutup. Hal tersebut diungkapkan pakar hukum tata negara, Denny Indrayana di Twitter nya, Minggu (28/05/2023).
Sistem pemilu proporsional tertutup menonjol setelah adanya gugatan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke MK. Gugatan tersebut meminta MK agar sistem pemilu yang digunakan 2024 adalah sistem pemilu proposional tertutup.
Sistem proporsional terbuka adalah sistem pemilihan yang dimana rakyat memilih beberapa wakil rakyat di suatu daerah pemilihan (dapil) dan merupakan anggota partai politik. Sistem ini digunakan sejak 2009-2019 dalam ajang demokrasi.
Sementara itu, sistem proporsional tertutup adalah penentuan seorang kandidat yang sesuai dengan posisi tertentu bukan dari jumlah suara masing-masing calon legislatif (caleg), namun dari perolehan suara terhadap partai politik. Sehingga, suara yang diberikan untuk suatu partai bukan langsung ke caleg.
Oleh karena itu, pemilih tidak langsung menentukan atau memilih caleg. Namun surat suara sistem proporsional tertutup hanya berisi logo partai politik dan bukan daftar nama caleg.
Sistem daftar tertutup ini, partai politik telah menentukan terlebih dahulu siapa yang akan memperoleh kursi. Maka dari itu, calon yang menempati urutan tertinggi dalam daftar ini akan dapat kursi di parlemen. Akan tetapi, calon yang posisi sangat rendah pada daftar tertutup, tidak mendapatkan kursi.
Apabila Sistem pemilu dengan menerapkan sistem proporsional tertutup, akan lebih memperkuat partai politik dan memberikan peluang besar terhadap kader yang berpotensi. Selain itu, dianggap mampu menekan potensi politik uang.
Parpol yang berhasil duduk di parlemen, mudah untuk memenuhi kuota perempuan atau etnis yang dianggap minoritas. Itu pun akan menekan biaya politik menjadi murah.
Sistem ini kekurangannya ialah akan menutup partisipasi masyarakat yang lebih besar, karena sebagai pemilih, tidak memilih langsung calegnya, melainkan akan ditentukan partai politik.
Bahkan, sistem ini aka berpotensi memundurkan kualitas demokrasi. Selain itu, berpotensi menguatkan oligarki di internal partai politik. Selanjutnya, berpotensi dilakukannya politik uang di internal partai politik dalam menentukan nomor urut calon.
Sedangkan Sistem pemilu proporsional terbuka, partisipasi masyarakat akan lebih besar, karena dapat langsung memilih calegnya yang akan duduk di parlemen untuk dapat mewakili aspirasinya. Dengan ini tentunya mampu memajukan kualitas berdemokrasi.
Bahkan Partisipasi dan kendali masyarakat dapar meningkat, dan dapat mendorong peningkatan kinerja partai maupun parlemen. Serta mampu mendorong kandidat dalam bersaing untuk memobilisasi massanya untuk kemenangan.
Adapun kekurangan sistem proporsional terbuka ini ialah akan melahirkan wakil rakyat yang belum teruji dan sebagian besar bukan kader terbaik pada suatu partai. karena realitas sekarang, rakyat mengabaikan kapasitas dan hanya memilih caleg yang bermodal.
Sistem pemilu tersebut juga berpotensi kurang sehatnya antarcalon legislatif dalam satu partai. Dan bahkan berpeluang terjadinya politik uang akan tinggi.
Sementara itu, perhitungan suara hasil pemilu akan rumit, dan sulit menentukan kuota gender dan etnis. Hal tersebut mampu mengakibatkan biaya pemilu sangat besar.
(*WD)
Komentar