Simbol Ilmu di Atas Bak Terbuka, Ketika Toga Tak Lagi Dihargai

Kolom1623 Dilihat

Ada banyak cara menghargai ilmu pengetahuan, salah satunya adalah dengan menghormati simbol-simbolnya.

Di dunia akademik, toga bukan sekadar pakaian seremoni, ia adalah lambang pencapaian intelektual, simbol dari perjuangan bertahun-tahun menuntut ilmu, dan penanda bahwa seseorang telah sampai di titik keberhasilan tertentu dalam karier akademisnya.

Namun, bagaimana bila simbol itu diperlakukan dengan cara yang tampak tak sepadan dengan makna yang dibawanya?

Baru saja, mahasiswa IAIN Palopo dibuat mengernyitkan dahi, bahkan mempertanyakan, ketika beredar foto-foto dan kesaksian bahwa toga-toga wisuda dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palopo diangkut menggunakan mobil pick-up terbuka yang berplat merah tanpa perlindungan yang layak.

Lembaran kain hitam bertopi petak itu yang seharusnya terlipat rapi, disimpan dalam kemasan bersih, dan dibagikan dengan penuh penghargaan justru tampak tertumpuk begitu saja di atas bak mobil, seolah tak ada bedanya dengan barang pindahan biasa.

Bukan hanya soal estetika atau kenyamanan, tapi ini menyentuh sisi etika dan simbolik dari sebuah institusi pendidikan.

Mungkin bagi sebagian orang, ini masalah sepele.

Baca juga:  Sejarah Singkat Kopi di Indonesia

Apa pentingnya cara mengangkut toga? Toh, nanti tetap dipakai di hari wisuda, difoto, dan disimpan.

Namun, justru di situlah letak ironi dan keprihatinannya.

Saat simbol ilmu diperlakukan seperti barang tanpa nilai, kita patut bertanya: Apakah kita benar-benar menghargai pendidikan, atau hanya sekadar menjalani rutinitas seremoni tanpa makna?

Memang, Toga bukan benda sakral dalam arti religius. Ia bukan kitab suci, bukan peninggalan suci, bukan pula jimat yang membawa keberuntungan. Namun, ia membawa makna kolektif, makna yang hidup di antara ratusan bahkan ribuan mahasiswa yang menunggu hari wisuda mereka.

Hari di mana orang tua datang dari kampung, mengenakan pakaian terbaik, duduk dengan bangga menyaksikan anaknya menyandang toga, simbol keberhasilan dalam dunia pendidikan.

Dan ketika toga-toga itu sebelumnya dilihat berserakan atau terpapar debu di jalanan kota, rasa bangga itu bisa terasa ternoda.

Mahasiswa menyayangkan cara institusi sebesar IAIN Palopo memperlakukan barang yang seharusnya dihormati. Ini bukan hanya soal logistik atau efisiensi biaya.

Baca juga:  Ini Alasan Penting PK-BLU Diterapkan di IAIN Palopo

Hal ini, bagaimana sebuah lembaga akademik memperlihatkan nilai-nilai yang dijunjungnya apakah mereka mengedepankan penghormatan terhadap simbol akademik, atau sekadar menjalankan administrasi rutin tanpa makna?

Lembaga pendidikan seharusnya menjadi teladan dalam segala aspek, termasuk dalam hal-hal yang tampak kecil sekalipun.

Justru dari detail kecil seperti ini, karakter sebuah institusi tercermin.

Mengangkut toga dengan kendaraan tertutup, misalnya, bukan hanya lebih bersih dan aman, tetapi juga memberikan kesan bahwa pihak kampus menghormati simbol kelulusan mahasiswanya.

Memberikan kesan bahwa wisuda adalah momen yang dipersiapkan dengan kesungguhan, bukan sekadar agenda tahunan yang harus segera selesai.

Beberapa pihak mungkin akan membela diri, ini hanya soal teknis, tidak ada niat merendahkan. Bisa jadi benar.

Namun, persepsi publik tak bisa diabaikan. Ketika publik melihat toga ditumpuk di bak terbuka, persepsi yang muncul adalah ketidakhormatan, atau minimal ketidakpedulian.

Apalagi jika foto-foto itu tersebar luas, mencoreng citra institusi yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai akademik dan kesopanan.

Peristiwa ini mestinya menjadi cermin, bukan hanya bagi IAIN Palopo, tetapi juga bagi lembaga pendidikan lain di seluruh Indonesia. Bahwa setiap simbol akademik, sekecil apa pun, layak diperlakukan dengan penghormatan.

Baca juga:  Rektor IAIN Palopo Sampaikan Khutbah Maulid Akbar di Luwu Timur

Hal-hal yang kelihatan sepele justru bisa membawa dampak besar terhadap reputasi dan nilai yang ingin dijaga oleh institusi pendidikan.

Toga bukan hanya kain dan benang. Ia adalah simbol perjuangan. Ia dikenakan dalam momen yang mungkin hanya terjadi sekali seumur hidup.

Maka, ketika simbol itu disia-siakan dalam proses yang tidak menghargai maknanya, kita sedang mengirimkan pesan kepada mahasiswa: bahwa hasil kerja kerasmu bisa saja dianggap remeh.

Ke depan, semoga hal ini tidak terulang. Semoga setiap toga yang akan dikenakan di hari besar itu hari di mana peluh dan air mata pendidikan dihargai akan dikemas, dijaga, dan dihantarkan dengan penuh penghormatan.

Karena pada akhirnya, menghargai simbol ilmu bukan hanya soal cara kita memperlakukan sebuah benda, tapi juga soal cara kita menghormati proses panjang di balik pencapaian itu. (Wdy)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *