HASHTAGNEWS.ID – Rusia menghadapi tantangan ekonomi yang begitu besar. Sebab, negara ini dihadapkan pada sanksi sejumlah negara yang berdampak pada mata uangnya rubel, pasar saham, dan aset lainnya.
Hal ini pun menimbulkan pertanyaan. Salah satunya terkait balasan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Ada kekhawatiran jika Putin membalas, tidak hanya dengan gas alam tetapi juga dengan minyak mentah sebagai senjata melawan Barat.
“Pasokan energi Rusia sangat berisiko, baik karena ditahan oleh Rusia sebagai senjata atau ditarik dari pasar karena sanksi,” kata Louise Dickson, analis senior pasar minyak senior di Rystad Energy dikutip dari CNN, Rabu (2/3/2022).
Pasokan minyak dunia sudah gagal memenuhi permintaan. Jika Rusia yang merupakan produsen minyak kedua dunia dengan sengaja menahan pasokan, kemungkinan membuat harga minyak meroket. Hal itu memberikan pukulan menyakitkan bagi konsumen di seluruh dunia.
JPMorgan telah mengingatkan bahwa harga minyak akan melonjak menjadi US$ 150 per barel jika ekspor Rusia dipotong setengahnya. Itu akan berarti terjadi peningkatan sekitar 41% dari harga tertinggi baru-baru yang hampir US$ 106 per barel.
Kondisi ini bakal mengerek harga bensin. Rata-rata harga di Amerika Serikat (AS) untuk bensin reguler sudah mencapai US$ 3,61 per galon. Harga tersebut naik 8 sen dalam seminggu dan 25 sen dalam sebulan.
AS mengkonsumsi sangat sedikit minyak Rusia (impor dari Rusia 90.000 barel per hari di Desember). Namun, guncangan pada pasokan di satu bagian dunia akan memberikan dampak pada harga di mana-mana.
“Ini adalah kartu liar jika Rusia benar-benar akan memperlambat arus tersebut untuk mencoba menimbulkan rasa sakit melalui komoditas,” kata Ryan Fitzmaurice, ahli strategi energi di Rabobank.
“Jika ada gangguan pasokan yang sebenarnya, itulah pemicu kenaikan harga yang berarti,” sambungnya.
Komentar