Opini – Akhir-akhir ini, lagi marak fenomena kampanye pupuk gratis, sebuah janji politik yang sering disuarakan seorang calon kepala daerah. Program ini digadang-gadang katanya akan mendukung sektor pertanian dan meningkatkan kesejahteraan petani.
Kampanye program ini tentunya memicu reaksi beragam dari masyarakat terkhusus para petani. Banyak yang mendukung, namun banyak juga yang menyebutkan bahwa kebijakan ini tidak rasional. Tetapi apa yang sebenarnya dimaksud dengan ketidakrasionalan itu?
Mengapa kebijakan pupuk gratis terkadang dianggap tidak efisien, dan apa dampaknya bagi para petani dan masyarakat dengan kebijakan ini.
Hal paling pertama yang mesti diperhatikan dalam sebuah program pupuk gratis adalah anggaran. Program pupuk gratis seharusnya membutuhkan biaya yang sangat besar dari pemerintah daerah. Penyediaan pupuk untuk seluruh petani dalam suatu kabupaten, tentunya membutuhkan dana yang tidak sedikit, apalagi jika dilakukan secara gratis dan berkelanjutan.
Penggunaan dana yang besar untuk program seperti ini, tentunya dapat membebani keuangan daerah, yang akhirnya berdampak pada pengurangan alokasi anggaran untuk program-program lainnya, seperti pendidikan, infrastruktur dan kesehatan.
Tak hanya itu, kurangnya perencanaan secara finansial, terutama dalam memastikan keberlanjutan program, sudah dipastikan hanya akan menimbulkan masalah baru. Misalnya saja, jika anggaran untuk program ini habis, maka kelangsungan distribusi pupuk gratis bisa terancam, dan petani akan kembali menghadapi masalah harga pupuk yang tinggi.
Dampak lain dari program pupuk gratis, juga bisa berefek pada ketergantungan bagi para petani.
Tanpa adanya program pendampingan atau pelatihan yang memberikan pemahaman akan penggunaan pupuk yang bijak dan alternatif pupuk organik, para petani cenderung akan terus bergantung pada subsidi pupuk tersebut. Hal ini tentunya sudah tidak selaras dengan prinsip pertanian berkelanjutan yang mengedepankan keseimbangan ekosistem.
Saat ini merupakan era di mana praktik pertanian organik mulai digalakkan. Pemerintah seharusnya lebih fokus pada pengembangan pupuk organik dan metode bercocok tanam yang lebih ramah lingkungan ketimbang memberikan pupuk kimia secara cuma-cuma.
Dari hal ini, kebijakan pupuk gratis seharusnya tidak segampang itu dilakukan di suatu daerah. Namun dalam dunia politik, program ini memang sebuah jualan politik yang bisa mempengaruhi pemilih, terkhusus masyarakat yang kurang paham soal dampak dari kebijakan ini.
Sebenarnya banyak hal yang bisa dijadikan alternatif, yang seharusnya bisa dipertimbangkan dijadikan rencana program di sektor pertanian. Salah satunya adalah subsidi harga pupuk, yang memungkinkan petani membeli pupuk dengan harga yang lebih terjangkau, tetapi tidak sepenuhnya gratis. Dengan cara ini, petani masih memiliki kesadaran akan nilai pupuk dan kemungkinan besar akan menggunakan pupuk tersebut dengan lebih bijak.
Selain itu, pelatihan dan edukasi mengenai pertanian berkelanjutan, metode bercocok tanam modern, serta pengelolaan lahan juga dianggap sebagai investasi jangka panjang yang lebih menguntungkan.
Pemerintah daerah bisa bekerja sama dengan ahli pertanian, universitas, dan lembaga riset untuk memberikan pelatihan tersebut, yang pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas tanpa harus bergantung pada bantuan pupuk gratis.
Jika kampanye pupuk gratis ini tetap dijalankan tanpa evaluasi, maka masyarakat berpotensi kehilangan kesempatan untuk mendapatkan program yang lebih efisien dan berjangka panjang.
Program yang dianggap “tidak rasional” ini bisa menciptakan efek domino pada sektor pertanian lainnya, termasuk berkurangnya inovasi di bidang pertanian karena dana tersedot untuk distribusi pupuk gratis.
Di sisi lain, pemerintah daerah akan mengalami tekanan finansial yang besar jika terus menjalankan program ini tanpa perencanaan matang. Maka dari itu, kampanye pupuk gratis sebaiknya dievaluasi, atau setidaknya dilengkapi dengan pendekatan tambahan seperti edukasi pertanian dan subsidi harga yang lebih tepat sasaran.
Kampanye pupuk gratis seolah-olah menjadi jalan pintas untuk meningkatkan kesejahteraan petani, tetapi banyak yang mempertanyakan rasionalitas dari kebijakan ini. Dengan biaya besar, ketergantungan petani, serta distribusi yang tidak efektif, program ini dianggap kurang efisien dan rentan tidak berkelanjutan.
Masyarakat, terkhusus petani seharusnya kritis. Seorang calon kepala daerah mestinya meninjau kembali kebijakan ini dengan pendekatan yang lebih terukur dan rasional, yang tidak hanya memberikan bantuan sesaat tetapi juga solusi jangka panjang yang mengedepankan keberlanjutan bagi pertanian.
Arif Mande (Koordinator Pasukan Lebah)
Komentar