Oleh : Rais Laode Sabania
Sumber Daya Alam Indonesia sudah rusak berat, fakta dilapangan menunjukkan bahwa angka kerusakan sumber kekayaan alam terus meningkat, konflik terjadi dimana-mana, ketergantungan petani semakin besar terhadap pasar, dan harapan kesejahtaraan petani dari hasil produksinya semakin tidak jelas. Tidak terhitung argumen logis dikemukakan untuk membuktikan bahwa rusaknya Sumber Daya Alam kita, bukan disebabkan keberadaan masyarakat yang hidup disekitarnya, tapi akibat ulah tangan-tangan serakah dari pemilik modal (investor) yang ditopang oleh kesewenang-wenangan para pemegang kekuasaan.
Hilangnya kedaulatan Rakyat atas Tanah dan Sumber Daya Alamnya, serta segala kerusakan alam ataupun konflik yang terjadi selama ini, disebabkan rakyat tidak pernah diajak bicara oleh para pembuat kebijakan. Rakyat tidak pernah dimintai pendapat dan persetujuannya secara bebas [tanpa intimidasi dan manipulasi] dalam menentukan kebijakan pengelolaan tanah dan Sumber Daya Alam. Alhasil, setiap kebijakan negara yang dibentuk dan dijalankan selalu memposisikan Masyarakat sebagai penerima resiko yang sama sekali tidak memiliki ruang untuk mengajukan keberatan apalagi usul perubahan.
Dari sekelumit persoalan tersebut, Tidak cukup hanya dalam tataran wacana untuk menjawabnya. Tingkat keprihatinan kita terhadap konflik sumber daya alam yang tidak sedikit memakan korban jiwa, keterpurukan, serta kemiskinan Masyarakat tidak bisa hanya dijawab dengan teori-teori popoler yang ada. Terbukti selama ini gerakan organisasi masyarakat sipil terjebak dalam pengungkapan teori-teori kritis yang keberhasilan pada tingkatan lapangan masih sangat jauh dari harapan.
Berkaca dari banyak kegagalan yang dilakukan, Patutlah kiranya organisasi-organisasi masyarakat sipil mengkaji ulang apa dan bagaimana aktivitas yang dilakukan selama ini. Agaknya perlu mempertegas strategi apa yang harus dilakukan untuk menghindarkan rakyat dari ketertindasan, keterpurukan, dan kemiskinan. Penguasaan wilayah kelola dan jalur-jalur distribusi hasil produksi masyarakat adalah sedikit jawaban dari persoalan yang sedang dihadapi, paling tidak akses kontrol masyarakat semakin besar terhadap aktivitas produksi yang dilakukan. penguasaan atau pengontrolan distribusi akan menghindarkan ketergantungan masyarakat terhadap negara dan swasta dalampengurusan sumber-sumber penghidupannya. Dalam hal ini, mekanisme FPIC adalah sebuah keharusan yang mesti dijalankan sebelum dimulainya sebuah proyek pembangunan di Wilayah kelola Masyarakat. posisi dan hak- hak Masyarakat sebagai pemangku wilayah harus diperkuat. Masyarakat memiliki hak untuk menyatakan persetujuan ataupun penolakan terhadap rencana operasional apapun di wilayahnya. Sangat Ironis, jika rakyat kecil senantiasa menjadi korban justru karena desa dan kampung mereka memiliki kekayaan alam.
Secara sederhana Mekanisme FPIC dapat dipahami sebagai Keputusan yang diambil secara bebas berdasarkan informasi lengkap sejak awal. FPIC adalah singkatan dari Free (bebas), Prior (mendahului/sebelum), Informed (informasi), Consent (keputusan), Mekanisme FPIC mensyaratkan agar Informasi diberikan kepada masyarakat di awal perencanaan suatu proyek pembangunan, dengan menyingkap segala keuntungan dan kerugian serta konsekuensi hukum dan politik atas suatu kegiatan tertentu yang akan dijalankan di wilayahnya. Pada proses selanjutnya masyarakat menganalisis informasi tersebut, dan berdasarkan hasil analisis atas informasi itulah masyarakat menyatakan YA atau TIDAK terhadap sebuah rencana proyek pembangunan yang akan dijalankan di wilayahnya.
Keistimewaan FPIC ada pada dua aspek. Pertama; hak menentukan pola dan model pembangunan bagi suatu komunitas ada pada komunitas yang bersangkutan tidak dikemudikan orang lain. Kedua; FPIC mewajibkan dialog sebagai metode pengambilan keputusan, bukan penentuan pendapat secara sewenang-wenang oleh suatu kelompok atau elit. Karena itu, secara prosedural FPIC adalah dialog terus menerus antara berbagai pihak dalam masyarakat, dan antara masyarakat dengan pemerintah maupun pemrakarsa proyek.
Selain itu, Pelaksanaan FPIC mempunyai implikasi pada berbagai hal. Secara
politis, kewajiban mentaati kehendak rakyat menunjukkan bahwa tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi selain dari suara rakyat sendiri. Secara hukum, perjanjian yang setara antara para pihak dan penolakan atas isi perjanjian yang sewenang-wenang merupakan pelaksanaan dari asas yang sangat mendasar dalam negara hukum yakni equality before law (kesamaan di depan hukum). dan Secara sosial, mengakui hak masyarakat atas tanah dan wilayahnya berarti mencegah konflik sosial di kemudian hari.
Secara historis-sosiologis, konsep FPIC sesungguhnya bukan introduksi konsep
asing terhadap Masyarakat pedesaan di Indonesia. Sejak lama, konsep ini mengakar pada tradisi dan kebiasaan Masyarakat pedesaan di Indonesia (Musyawarah_Mufakat). Mekanisme FPIC sama sekali bukan penghambat pembangunan, melainkan FPIC sesungguhnya adalah lisensi sosial-politikpaling mendasar terhadap pembangunan. Tanpa menjalankan mekanisme FPIC, proyek pembangunan apapun bentuknya akan kehilangan legitimasinya dari Masyarakat, mekanisme FPIC harus menjadi panduan kebijakan bagi pemerintah agar dua persoalan besar, konflik dan kemiskinan di setiap wilayah (Indonesia) akan terbantu penyelesaiannya.
Referensi :
1. Perkumpulan Wallacea & TIFA ; Mekanisme FPIC berdasarkan nilai-nilai
dan kearifan lokal masyarakat, Dalam Pencegahan dan Penyelesaian Konflik
Sumber Daya Alam.
2.http://perkumpulanwallacea.wordpress.com/2014/07/23/mengenal-free-and-
prior-informed-consent-fpic/
Komentar