Nasional – Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan gugatan terhadap Undang-Undang (UU) Pilkada, yang mengatur sanksi bagi anggota TNI dan Polri yang terlibat dalam politik praktis. Minggu, (17/11/2024).
Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, Rahmat Bagja mengatakan bahwa sedang mengkaji putusan tersebut untuk menyesuaikan tugas pengawasan Bawaslu terkait netralitas TNI-Polri.
“Nanti kita lihat, nanti kita lihat putusan pilkada putusan MK-nya,” ungkap Bagja.
Lebih lanjut, Bagja mengatakan Bawaslu RI telah kirimkan surat kepada TNI dan Polri untuk mendiskusikan putusan Mahkama Agung tersebut.
“surat sudah kirim surat ke TNI dan Polri,” jelas Bagja.
Sebelumnya, MK mengabulkan permohonan nomor 136/PUU-XXII/2024 yang meminta penambahan frasa “TNI/Polri” dan “pejabat daerah” dalam Pasal 188 UU Pilkada Nomor 1 Tahun 2015.
Dengan adanya putusan tersebut, anggota TNI-Polri yang terlibat dalam praktik politik yang menguntungkan salah satu pasangan calon kepala daerah dapat dikenakan sanksi pidana.
“Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK, Suhartoyo, dalam persidangan, Kamis (14/11).
Pasal 188 UU 1/2015 itu mengatur sanksi untuk pejabat negara, pejabat aparatur sipil negara, dan kepala desa, atau sebutan lain/lurah yang sengaja melanggar ketentuan Pasal 71 bisa dikenakan pidana penjara dan denda. Sebelum dikabulkan, Pasal 188 UU 1/2015 belum memiliki frasa yang menyebut “TNI/Polri” dan “pejabat daerah” yang bisa dikenakan pidana jika membuat kebijakan yang menguntungkan pasangan calon tertentu seperti yang dijelaskan pada Pasal 71.
Dari putusan MK, ada tambahan frasa “pejabat daerah” dan “TNI/Polri” yang bisa dikenakan sanksi pidana paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan dan denda paling sedikit Rp 600.000 atau paling banyak Rp 6 juta.
MK kemudian menyatakan, ketentuan Pasal 188 UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai.
“Setiap pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI-Polri, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan, dan/atau denda paling sedikit Rp 600.000 atau paling banyak Rp 6 juta,” pungkas Suhartoyo. (*)
Komentar