HASHTAGNEWS.ID – Perang antara dua negara Ukraina dengan Rusia terus memakan korban. Tak hanya para tentara dan warga biasa.
Perang yang telah dimulai dengan invasi Rusia ke Ukraina itu juga memakan korban seorang jenderal perang angkatan bersenjata Rusia.
Jenderal besar Rusia yang disegani itu tewas ditembak sniper Ukraina saat tengah bertempur.
Kematian sang jenderal disebut sebagai pukulan telak untuk Presiden Rusia Vladimir Putin.
Mayor Jenderal Andrei Sukhovetsky adalah Komandan Jenderal Divisi Lintas Udara ke-7 Rusia dan Wakil Komandan Angkatan Darat Gabungan ke-41.
Seperti dikutip dari The Sun, Kamis (3/3/2022), Mayjen Sukhovetsky tewas dalam pertempuran di Pangkalan Udara Hostomel, sekitar 30 mil di luar ibu kota Ukraina, Kiev.
Sumber militer mengungkapkan, Mayjen Sukhovetsky tewas karena tertembak oleh sniper atau penembak jitu. Sejauh ini, ia menjadi sosok senior pertama yang tewas dalam pertempuran di Ukraina.
Dilansir dari The Independent, Putin mengonfirmasikan bahwa seorang jenderal telah terbunuh pada pertempuran di Ukraina.
Menurut ahli, terbunuhnya Mayjen Sukhovetsky menjadi gambaran bahwa usaha Putin menyerang Ukraina tak sesuai rencana.
Ia merupakan pasukan penerjun payung yang disegani, terlatih dalam misi di wilayah musuh, dan memiliki peran penting dalam pencaplokan Krimea pada 2014 lalu.
Direktur Eksekutif laman jurnalisme investigatif Bellingcat, Christo Grozev, mencuitkan bahwa kematiannya akan menjadi penurunan motivasi utama bagi tentara Rusia.
Rusia sendiri saat ini mengklaim jumlah tentara Rusia yang tewas di Ukraina adalah 498 orang, dan sekitar 1.597 tentara lainnya terluka.
Namun, pejabat Inggris mengungkapkan, jumlah pasti tentara Rusia yang tewas dan terluka sudah pasti lebih tinggi dan akan terus bertambah.
Kantor Hak Asasi Manusia PBB mengungkapkan, setidaknya 227 warga sipil telah tewas dan 525 orang terluka di Ukraina sejak serangan dimulai pekan lalu.
Sementara, layanan gawat darurat Ukraina menegaskan, lebih dari 2.000 penduduk sipil telah tewas.
Pada Februari 2022 lalu, Belanda dikabarkan mengirim peralatan militer ke Ukraina termasuk senapan sniper dan helm, untuk mempertahankan diri dari kemungkinan serangan Rusia.
Langkah anggota NATO itu dilakukan meskipun negata tetangganya, Jerman, diejek oleh Wali Kota Kiev karena mengirim helm ke Ukraina guna menghadapi invasi Rusia.
Ukraina harus mampu mempertahankan diri terhadap kemungkinan serangan bersenjata Rusia di wilayahnya sendiri,” kata Menteri Luar Negeri Belanda Wopke Hoekstra dikutip dari AFP beberapa waktu lalu. “Itulah sebabnya kabinet memutuskan untuk memasok barang-barang militer ini ke Ukraina.”
Satu-satunya persenjataan mematikan yang akan dikirim Pemerintah Belanda ke Ukraina terdiri dari 100 senapan sniper dengan 30.000 butir amunisi, kata Kementerian Luar Negeri.
Belanda juga akan memasok 3.000 helm tempur dan 2.000 rompi lapis baja untuk perlindungan pribadi bagian tubuh vital, katanya.
Belanda selanjutnya akan memasok 30 detektor logam, dua robot untuk mendeteksi ranjau laut, dua radar pengawasan medan perang, dan lima radar lokasi senjata yang membantu tentara mengetahui dari mana datangnya tembakan, katanya.
Jerman pada Januari mengatakan, tidak akan memberikan senjata ke Ukraina tetapi menawarkan 5.000 helm sebagai gantinya. Kebijakan itu dikecam sebagai “lelucon” oleh Wali Kota Kiev Vitali Klitschko.
Belanda membangun hubungan dekat dengan Ukraina setelah insiden MH17 pada 2014, ketika pesawat Malaysia Airlines yang terbang dari Amsterdam itu ditembak jatuh di atas Ukraina timur pada 2014.
Dari 298 orang yang tewas di dalamnya, 196 di antaranya adalah warga Belanda. Namun, Belanda sebelumnya bersikap lebih dingin dalam hal dukungan militer.
Pada 2016, para anggota parlemen Belanda dengan tegas menolak perjanjian utama Uni Eropa-Ukraina, sehingga Perdana Menteri Mark Rutte terpaksa membuat kesepakatan kompromi yang membatasi komitmen pertahanan UE ke Ukraina dan jaminan keanggotaan penuh UE untuk Kiev.
Komentar