hashtagnews.id – Indonesia tengah menghadapi krisis kesehatan yang genting namun luput dari sorotan luas. Kasus tuberkulosis (TBC) di Tanah Air telah menyentuh angka mengkhawatirkan 1.090.000 kasus dengan 125 ribu kematian. Angka ini menempatkan Indonesia di posisi kedua tertinggi kasus TBC di dunia, hanya kalah dari India yang mencatat 2,8 juta kasus dan 315 ribu kematian.
Tingginya angka tersebut tak hanya mencerminkan darurat penyakit menular, tetapi juga menguak masalah serius dalam sistem kesehatan nasional: minimnya tenaga medis spesialis, khususnya dokter paru dan dokter mikrobiologi klinik.
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menyoroti bahwa penanganan TBC, terutama yang resisten terhadap obat (TBC RO), sangat bergantung pada keberadaan dokter spesialis paru yang kompeten. Sayangnya, distribusi mereka sangat timpang.
“Kenapa dibutuhkan tiap kabupaten atau kota? Karena ada masalah penanganan penyakit paru, yaitu resistensi obat. Ini butuh spesialis yang mumpuni untuk melakukan penanganan,” ujar Dante saat ditemui di Jakarta Timur, Kamis (12/6), sebagaimana dikutip dari detikHealth.
Menurutnya, idealnya setiap daerah di Indonesia memiliki setidaknya satu dokter spesialis paru untuk memastikan layanan rujukan dan terapi bisa dijangkau oleh seluruh masyarakat, apalagi bagi penderita TBC dengan komplikasi berat.
Namun tantangan tidak berhenti di sana. Ketua Konsil Kesehatan Indonesia (KKI), Arianti Anaya, mengungkapkan bahwa Indonesia juga mengalami defisit tajam dokter spesialis mikrobiologi klinik salah satu ujung tombak dalam diagnosis akurat TBC melalui uji laboratorium seperti kultur, tes cepat molekuler, dan uji resistensi obat.
“Hingga saat ini baru ada 367 dokter spesialis mikrobiologi. Kalau kita lihat dari sisi kebutuhan, kita butuh 1.252 dokter. Artinya, kita baru mengisi sekitar 26,6 persen dari kebutuhan nasional,” jelas Arianti.
Padahal, peran dokter mikrobiologi sangat vital. Tanpa hasil diagnosis yang tepat dan cepat, dokter paru tak bisa menentukan terapi yang sesuai, terutama untuk kasus TBC yang sudah kebal terhadap berbagai jenis antibiotik.
Minimnya jumlah tenaga spesialis ini berisiko memperlambat penanganan, meningkatkan angka kematian, dan memperbesar kemungkinan penyebaran TBC yang tidak terkendali di masyarakat. Situasi ini menjadi tantangan besar bagi pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan kesehatan untuk melakukan reformasi serius, tidak hanya pada aspek kuratif, tapi juga pada sistem pendidikan dan distribusi dokter spesialis. (*)