Buku Animal Farm, karya George Orwell, pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Joesoef Sou’yb pada tahun 1963 dengan judul Kisah Pertanian Hewan.
Namun, pada tahun 1983, buku tersebut kembali diterjemahkan oleh H. Mahbub Djunaedi, yang terkenal dengan sapaan akrabnya, Bung Mahbub.
Hasil terjemahannya yang berjudul Binatangisme tidak hanya sekadar menerjemahkan kata demi kata, tetapi juga mengandung gaya penulisan yang unik, penuh dengan kontekstualisasi sosial dan politik yang relevan dengan situasi pada masa Orde Baru.
George Orwell, yang memiliki nama asli Eric Blair, adalah seorang penulis asal Inggris yang lahir pada tahun 1903 di Bengal, India, dan meninggal pada Januari 1950 di Swiss akibat penyakit TBC.
Karya-karya Orwell dikenal tajam, penuh kritik sosial, serta menggambarkan ketidakadilan dan penindasan yang ada dalam masyarakat. Animal Farm, yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1945, adalah salah satu karya paling terkenal dari Orwell.
Buku ini berisi alegori tentang revolusi yang berujung pada pemerintahan tirani, menggunakan hewan-hewan di sebuah peternakan sebagai karakter utama yang mewakili berbagai kelas dan ideologi dalam masyarakat manusia.
Penerjemahan pertama kali oleh Joesoef Sou’yb dengan judul Kisah Pertanian Hewan ada 1963 sudah menggambarkan relevansi sosial yang cukup mendalam.
Namun, terjemahan Mahbub Djunaedi pada tahun 1983, yang berjudul Binatangisme, membawa nuansa yang berbeda.
Tidak hanya sekadar mentranskripsikan kata-kata dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia, Mahbub memberikan sentuhan yang lebih kreatif dan penuh nuansa.
Buku ini menggambarkan realitas sosial-politik Indonesia pada masa Orde Baru dengan menggunakan referensi yang mudah dipahami oleh pembaca Indonesia saat itu.
H. Mahbub Djunaedi dikenal dengan gaya penulisan dan penerjemahan yang khas.
Ia tidak hanya menerjemahkan teks secara literal, tetapi juga mengadaptasi dan mengkontekstualisasikan buku dengan realitas yang ada di masyarakat.
Dalam hal ini, terjemahan Binatangisme membawa nuansa yang lebih mendalam dan memiliki keterikatan dengan situasi Indonesia pada masa Orde Baru.
Sebagai seorang penulis dan penerjemah, Mahbub mampu memasukkan pandangannya terhadap situasi sosial-politik saat itu ke dalam terjemahannya.
Ia menggunakan bahasa yang lebih mengena bagi pembaca Indonesia, tidak hanya mengedepankan makna harfiah, tetapi juga menonjolkan esensi yang ada di balik cerita.
Buku tersebut tidak hanya sekadar sebuah karya sastra terjemahan, tetapi juga menjadi sebuah refleksi dari zaman yang tengah dialami oleh masyarakat Indonesia pada saat itu.
Dalam Binatangisme, Mahbub tidak segan untuk mengadaptasi istilah-istilah tertentu agar lebih mudah dipahami dan memiliki relevansi dengan konteks politik yang berkembang di Indonesia.
Terjemahan ini juga terasa lebih hidup dan menggugah, seolah-olah Mahbub ingin menunjukkan bahwa cerita dalam Animal Farm bukanlah sekadar sebuah dongeng tentang hewan, melainkan sebuah kritik tajam terhadap ketidakadilan sosial dan politik yang terjadi dalam kehidupan manusia.
Pada masa Orde Baru, Indonesia mengalami periode yang sangat terkontrol dalam berbagai aspek kehidupan, baik itu dalam hal politik, kebebasan berbicara, maupun kebudayaan.
Penerjemahan Animal Farm menjadi sangat relevan pada saat itu, karena dapat dipandang sebagai sebuah sindiran terhadap rezim yang sedang berkuasa.
Dalam buku Binatangisme, Mahbub berhasil menempatkan diri dalam posisi yang sensitif, mengingat bahwa Orde Baru merupakan masa yang penuh dengan pengawasan dan kontrol terhadap kebebasan berekspresi.
Namun, Mahbub Djunaedi dengan cerdik mengolah karya ini sehingga pembaca tidak hanya merasa terhibur, tetapi juga mendapatkan pemahaman yang lebih dalam mengenai bagaimana kekuasaan bisa disalahgunakan.
Melalui narasi tentang hewan-hewan yang memberontak dan akhirnya jatuh ke dalam tirani baru, Mahbub ingin mengajak pembaca untuk merenung dan mengkritisi kondisi sosial yang ada pada masa itu.
Selain aspek terjemahan yang kreatif, Binatangisme juga memiliki peran penting dalam perkembangan sastra Indonesia, khususnya dalam hal penerjemahan karya-karya asing.
Mahbub Djunaedi tidak hanya mengandalkan teknik terjemahan yang literal, tetapi ia juga membawa nilai-nilai sastra yang lebih mendalam.
Karya ini dapat dilihat sebagai contoh dari penerjemahan yang tidak hanya mempertahankan makna, tetapi juga memperkaya konteks budaya dan sosial yang ada di Indonesia.
Di sisi lain, terjemahan Binatangisme juga menunjukkan bahwa sastra tidak hanya berfungsi sebagai karya seni, tetapi juga sebagai medium untuk menyampaikan pesan-pesan kritis yang relevan dengan kondisi masyarakat.
Terjemahan ini menjadi sarana untuk memperkenalkan karya sastra luar negeri kepada pembaca Indonesia sekaligus membuka ruang bagi refleksi kritis terhadap keadaan politik yang sedang berlangsung.
Penerjemahan Animal Farm ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Binatangisme oleh H. Mahbub Djunaedi tidak hanya sekadar mentranskripsi kata demi kata, tetapi juga mengandung makna yang lebih mendalam dan relevansi sosial yang sangat kental.
Mahbub berhasil menghadirkan karya George Orwell dengan cara yang tidak kaku, namun tetap menjaga esensi kritik sosial yang terkandung di dalamnya.
Dengan demikian, buku ini menjadi lebih dari sekadar karya sastra terjemahan, melainkan sebuah karya yang relevan dan mencerminkan realitas sosial-politik Indonesia pada masa Orde Baru. (Wahdi Laode Sabania)
Komentar