Alumni Abadi dengan SKS

Kolom831 Dilihat

Negara kesatuan republik ini, kita punya banyak jenis mahasiswa. Ada mahasiswa teladan, ada mahasiswa abadi, ada pula mahasiswa karbitan.

Nah, di antara semuanya yang paling ajaib adalah alumni abadi, orang yang sudah lama bukan mahasiswa, tapi masih mengaku-ngaku mahasiswa.

Umurnya sudah lebih pantas ikut arisan bapak-bapak komplek, tapi masih rajin nongkrong di demo sambil meneriakkan jargon. Kalau ditanya: “Semester berapa, Bang?” Ia menjawab dengan tersenyum “Semester perjuangan.”

Orang ini ibarat mantan pacar yang tak rela putus. Sudah dikeluarkan dari kampus, tapi masih ngaku-ngaku punya hubungan erat dengan gerakan mahasiswa.

Bedanya, kalau mantan pacar biasanya datang bawa bunga, alumni abadi datang bawa racun.
Tugasnya bukan menguatkan gerakan, melainkan memecah belah.

Dan objek favorit adu dombanya adalah wartawan. Entah kenapa, ia begitu gemar menyulut api antara mahasiswa dan wartawan.

Padahal, wartawan dan mahasiswa itu mestinya serupa kacang dan kulit. Saling membutuhkan. Wartawan butuh mahasiswa untuk berita dan mahasiswa butuh wartawan untuk sorotan.

Tapi di tangan alumni abadi ini, keduanya dipaksa jadi musuh bebuyutan, seperti Tom dan Jerry.

Metodenya sederhana, murah, dan murahan. Ia mendekati wartawan dengan wajah serius. “Bang,” katanya, “mahasiswa sekarang sudah muak sama media. Katanya berita abang itu pesanan.” Wartawan pun mulai curiga. Padahal yang memesan ke wartawan biasanya cuma istri, pesan belanjaan.

Baca juga:  Tirto Adhi Soerjo: Bapak Wartawan Indonesia

Tak sampai di situ, alumni abadi lalu beralih ke mahasiswa. Kali ini tampil bagai orator sejati.

“Kawan-kawan! Wartawan itu hanya corong penguasa! Mereka tidak berpihak pada rakyat! Kalau perlu, usir mereka!”

Begitulah cara alumni abadi bekerja, menanam benih curiga di ladang persaudaraan. Wartawan curiga pada mahasiswa, mahasiswa curiga pada wartawan. Sementara dia? Duduk di pinggir jalan, menonton dengan gembira, seperti penonton bola yang tak peduli siapa yang kalah, asal ada keributan.

Saudara-saudara, inilah versi murah dari politik devide et impera. Dulu Belanda harus bawa kapal perang dan meriam untuk mengadu pribumi dengan pribumi.

Sekarang, cukup satu alumni abadi bermulut besar sudah cukup bikin kacau. Bedanya, kalau Belanda dulu memonopoli rempah, alumni abadi ini cuma memonopoli gosip.

Tentu kita bisa saja tertawa. Tapi masalahnya, sering kali jebakan ini berhasil. Wartawan yang harusnya skeptis malah gampang tersulut.

Mahasiswa yang mestinya kritis malah gampang terbakar. Giliran dosen saja bisa mereka debat panjang lebar, namun giliran alumni abadi bilang “wartawan itu antek,” langsung percaya bulat-bulat.

Olehnya itu, masalah kita sebenarnya bukan pada provokatornya, tapi pada kegemaran kita diprovokasi. Wartawan malas verifikasi, mahasiswa malas konfirmasi. Jadilah semua percaya bisikan satu mulut bekas mahasiswa yang IPK-nya mungkin tak pernah lewat dua koma.

Baca juga:  Simbol Ilmu di Atas Bak Terbuka, Ketika Toga Tak Lagi Dihargai

Padahal, kalau dipikir, orang yang sudah bukan mahasiswa mestinya sibuk bekerja. Atau kalau tidak bekerja, minimal sibuk mengurus cicilan.

Bukan malah menyamar jadi mahasiswa, teriak-teriak di jalan, lalu mengompori orang lain. Ya beginilah negeri kita, ada orang yang lebih nyaman jadi mahasiswa abadi daripada jadi warga normal.

Kita mestinya belajar mengidentifikasi. Kalau ada seseorang datang mengaku mahasiswa, tapi perutnya sudah buncit tanda kebanyakan makan gorengan, tanyakan dulu, “Masih ikut KKN atau KPR?” Kalau jawabannya KPR, jelaslah dia bukan mahasiswa. Dan jika ada yang berapi-api berorasi, tapi tak bisa menyebut nama dosennya sendiri, bisa dipastikan itu alumni abadi yang gagal move on.

Wartawan juga jangan gampang diaduk-aduk. Kalau ada orang bilang mahasiswa tak percaya media, jangan buru-buru bikin berita bombastis.

Bisa jadi itu cuma ucapan alumni abadi yang belum percaya dirinya sendiri. Ingat, tugas wartawan bukan menambah bahan bakar ke api, tapi menenangkan suasana dengan fakta.

Lalu, siapa yang diuntungkan bila wartawan dan mahasiswa bentrok? Tentu saja bukan mahasiswa, bukan wartawan, apalagi rakyat.

Baca juga:  Binatangisme: Terjemahan Kreatif Mahbub Djunaedi Animal Farm karya George Orwell

Yang untung hanyalah mereka yang takut kalau suara kritis bersatu. Mereka yang senang bila wartawan sibuk mengutuk mahasiswa, danmahasiswa sibuk mencaci wartawan. Sehingga mereka bisa tidur nyenyak sambil merancang kebijakan ajaib.

Maka, mari kita tertawa dulu sebelum marah. Kalau ada alumni abadi datang, hadapi dengan humor. Kalau ia bilang wartawan itu antek, jawab dengan “Kalau begitu, Bang antek siapa? Antek nostalgia masa kuliah?” Kalau ia bilang mahasiswa sudah tak percaya media, balas dengan “Masih mahasiswa kah? Atau sudah jadi alumni, tapi gagal diwisuda karena skripsi ditolak pembimbing?”

Pada akhirnya, musuh mahasiswa bukanlah wartawan, bukan pula aparat. Musuh mahasiswa adalah kebodohannya sendiri.

Mudah diombang-ambing, malas memeriksa fakta, dan gampang sekali ditipu orang yang bahkan sudah drop out bertahun-tahun lalu.

Selama kelemahan itu masih ada, cukup satu alumni abadi sudah cukup bikin gerakan bubar jalan.

Dan untuk si alumni abadi itu, saya hanya ingin berpesan, kalau betul-betul kangen jadi mahasiswa, daftarlah kuliah lagi. Bayar SPP, isi KRS, ikut ujian, dan rasakan kembali indahnya antre di loket administrasi. Jangan hanya jadi mahasiswa di jalanan dengan SKS (Suka Kompori Situasi).

Penulis: Wahdi Laode Sabania

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *