hashtagnews.id – Musim tak lagi sekadar rotasi antara hujan dan kemarau, atau empat musim klasik yang dikenal di negara-negara subtropis.
Dunia kini memasuki babak baru dalam sejarah iklim, di mana musim-musim yang muncul tidak lagi berasal dari proses alamiah, melainkan hasil langsung dari aktivitas manusia.
Studi gabungan dari University of York dan London School of Economics mengidentifikasi munculnya empat tipe musim baru yang sepenuhnya bersifat antropogenik atau buatan manusia.
Keempat tipe tersebut adalah Emergent Seasons (musim baru muncul), Extinct Seasons (musim punah), Arrhythmic Seasons (musim aritmik), dan Syncopated Seasons (musim sinkopasi). Masing-masing mencerminkan pergeseran ritme cuaca akibat tekanan aktivitas manusia terhadap lingkungan.
Di Indonesia, gejala ini semakin terasa. Di Bali, masyarakat menghadapi fenomena yang disebut sebagai “musim sampah”.
Setiap tahun antara November hingga Maret, pesisir Pulau Dewata dibanjiri sampah plastik yang terbawa gelombang laut dan pola pasang surut.
Fenomena ini bukan bagian dari siklus alami, melainkan dampak dari pencemaran dan buruknya pengelolaan sampah di hulu.
Wilayah Asia Tenggara lainnya juga tak luput dari “musim baru”. “Musim kabut asap” misalnya, muncul akibat praktik pembakaran hutan untuk membuka lahan pertanian.
Asap menyelimuti langit selama berminggu-minggu, mengganggu aktivitas masyarakat dan memicu lonjakan kasus penyakit pernapasan.
Sementara itu, sejumlah musim alami justru menghilang. Di Inggris utara, populasi burung laut mengalami penurunan signifikan akibat berkurangnya musim berkembang biak. Di kawasan pegunungan Alpen, musim dingin semakin singkat dan hangat, mengganggu ekosistem yang bergantung pada suhu beku.
“Musim kini tidak lagi mengikuti pola yang dapat diprediksi,” tulis Felicia Liu dari Universitas York dan Thomas Smith dari London School of Economics dalam laporan mereka yang dikutip Live Science, Kamis (31/7/2025).
“Musim panas semakin panjang dan ekstrem, musim hujan lebih pendek tapi deras, dan musim dingin serta hibernasi berlangsung lebih singkat.”
Di Thailand utara, pergeseran musim menyebabkan kekacauan dalam sistem pertanian. Pola tanam menjadi tidak menentu karena musim kemarau memanjang, sementara musim hujan datang terlambat.
Pembangunan bendungan di hulu sungai Mekong dan fluktuasi curah hujan memperparah kondisi ini.
Meski berbagai upaya adaptif seperti sistem peringatan dini dan pemasangan penyaring udara telah dilakukan, para ilmuwan mengingatkan bahwa pendekatan ini tidak menyelesaikan akar masalah.
Sebaliknya, normalisasi musim buatan dapat melemahkan desakan publik terhadap kebijakan lingkungan yang lebih tegas.
“Jika masyarakat hanya bergantung pada solusi adaptif, musim kabut asap bisa makin parah karena deforestasi dan pembakaran hutan terus berlangsung tanpa pertanggungjawaban,” tulis Liu dan Smith.
Para peneliti menyoroti perlunya merefleksikan ulang cara manusia memahami waktu dan hubungan dengan alam. Kalender dan jam sebagai penanda waktu global kerap mengabaikan ritme alam yang lebih lokal, seperti musim tanam atau siklus bulan.
Dalam konteks ini, pengetahuan tradisional dan kearifan lokal terutama dari masyarakat adat dinilai penting untuk memperkaya respons terhadap krisis iklim.
Bukan sekadar bertahan, tapi juga membangun kembali keseimbangan dengan alam yang telah lama terganggu. (*/Wdy)